GARUT, menjelang Pemilukada, konstelasi politik sedang naik ke
permukaan, di pasar misalnya: pedagang ramai ngomongin calon yang akan mereka
pilih kelak. Bisik-bisik dari jongko ke jongko mereka akan pilih “besek” yang
paling besar isinya. Seorang pedagang kaki lima tak mau ketinggalan, dia bilang
dengan aksen sunda buhunnya, "baheula mah si eta teh dulur, ayeuna mah
jadi batur", pun sebaliknya. Tukang ojegpun tak tinggal diam mearasa punya
kawanan ia akan memilih calon yang pas untuk setoran. Di sekolah ataupun di
komunitas sejenis yang mestinya steril dari urusan politik bahkan lebih hebat
lagi, permintaannyapun tak main-main. Jika seorang calon mampu meloloskan
proposalnya kelak suara lembaga tak akan kemana. ahhh...... selalu saja ada bergaining
dalam politik.
Mungkin itu sebabnya ongkos politik
menjadi mahal padahal untuk daftar untuk menjadi caleg tidaklah besar,
variatif. “Salah satu partai misalnya hanya menghargakan 20 Jt, ada yang 30 jt
ada yang 60 juta..dst. Menjadi bupatipun untuk daftar tidaklah besar, akan
tetapi dana kampanyelah yang pasti melonjak belum lagi untuk biligo, stiker dan
lain-lainnya. Demikian perbincangan saya dengan seorang caleg suatu ketika di
salah satu Rumah Sakit."
Dalam politik tak ada yang pasti,
tak ada yang abadi setiap orang punya kepentingan dan itu harga mati. Setiap
orang punya harapan. Maka orang yang mampu meyakinkan harapan kostituenlah yang
akan menjadi pemenang. Menjadi pemenang tidak semata-mata pandai
membagi-bagikan uang, bingkisan, atau apapun itu namanya saja, akan tetapi
mereka yang mampu menawarkan harapan. Seorang pemerhati budaya sunda bilang,
"calon mah asal bisa nyieun dongeng anu bisa mere harapan maka peluang
untuk menjadi pemenang terbuka lebar.
Bahkan khususnya Garut, barangkali,
isu moral seorang calon pemimpin amatlah sensitif. Artinya Garut yang nota bene
dilingkup pesantren-pesantren, maka keterjagaan moralitas seorang pemimpin
menjadi harga mati. Moralitas seorang pemimpin inilah yang sering “diuget-uget”
oleh masing-masing lawan politik sebelum atau sesudah menjadi pemenang, lalu
bersekutu dengan masyarakat.!
Namun, tetap saja politik
Machevelianisme sudah kepalangtanggung bertransformasi menjadi hukum yang tak
tertulis. Sebab demi syahwat politik tiap orang rela menaggalkan identitas yang
satu menuju identitas yang lain. Dalam politik, seorang calon pemimpin harus
membongkar apa yang nyata dalam kehidupan politik, bukan apa yang seharusnya.
Itu sebabnya dalam pemilukada Partai Politik apapun tak pernah menjanikan
kemenangan bagi jagoannya, meskipun di parlemen paling banyak mengirim
wakilnya.
Beruntung sekali para cabup, sebab
gairah masyarakat Garut untuk andil mensukseskan gelaran pemilukada cukup
antusias meski harus memilih satu dari sepuluh pilihan pada tanggal 8 September
2013 nanti. Politik bukanlah tragedi, masyarakat Garut tidak lagi meratapi
kekacauan imajinasi pemimpinnya hari kemarin. Mungkin mereka sadar, bahwa
selalu terbuka harapan untuk maju dengan pemimpin baru. Atau barangkali
masyarakat tahu bahwa menjadi golput bukanlah pilihan bijak. Sebab, dengan
menjadi golput akan memberikan peluang terhadap calon yang tidak disukainya
untuk menang. ahh...... Politik memang selalu asyik dan menarik untuk dibincang
dari atas hingga lapisan grasroot selalu tak mau ketinggalan. Politik mungkin
sudah menjadi "agama" baru, yang sekaligus menjadi candu.
0 comments:
Post a Comment