Bukan politisi/politikus bila tidak pandai “berstrategi” atau bersiasat. Bahkan ada orang berkata sinis yaitu bukan politisi atau politikus namanya, jika tak pandai berdusta. Itulah dua stigma masyarakat tentang perilaku politik, diantara sekian banyak stigma sinis. Padahal hakikat politik itu adalah memiliki tujuan suci dan mulia. Bahkan Rasulullah sendiri dan para sahabatnya adalah para politisi ulung yang sangat layak untuk dijadikan sandaran keteladanan. Mengingat arti politik secara luasnya adalah usaha untuk menggapai kehidupan yang baik (Miriam Budiardjo : 2008). Namun dalam konteks kekinian secara praktis, politik telah mengalami paradigma baru yang mengarah kepada perilaku yang bertentangan dengan keinginan rakyat, hingga oleh banyak kalangan politik kerap dianggap sebagai “monster” yang sarat dengan sejumlah kemunafikan.
Sekecil apapun permainan politik yang sekiranya menguntungkan diri dan kelompoknya, oleh para politisi pasti akan dilakukan. Sementara yang sekiranya merugikan pasti akan ditinggalkan. Dalam konteks praktis, seperti penyerahan saldo rekening kampanye para pasangan kandidat Bupati dan Wakil Bupati Garut kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang merupakan salah satu prasyarat mereka. Namun hal itu banyak mengundang pertanyaan publik. Mengingat beberapa pasangan calon yang telah menyampaikan rekeningnya, ternyata hanya terdapat rata-rata jumlah dana (saldo) sebesar Rp. 500 ribuan. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa untuk biaya kampanye/ongkos politik (cost politics) seperti baliho, kaos, topi, tiker beserta biaya “terselubung” lainnya diperkirakan bisa mencapai ratusan juta rupiah, bahkan bisa lebih.
Lalu masyarakat yang “bodoh” sekalipun tentu akan bertanya dari mana dana untuk membeli sejumlah alat peraga seperti baliho, stiker, biaya silaturahmi politik serta biaya-biaya kegiatan bernuansa politik lainnya? Semua ini akan semakin memperkuat “kecurigaan” masyarakat dan semakin mempertebal stigma buruk tentang perilaku para politisi. Ketidakterbukaan tersebut akan memunculkan stigma negatif seperti, pertama biaya kampanye telah disebar oleh masing-masing tim sukses dalam bentuk kampanye hitam. Kedua kemungkinan dana kampanye disembunyikan untuk serangan pajar. Ketiga kemungkinan dana sebagai cadangan politik uang (money politics). Keempat jumlah dana dalam rekening sengaja dikecilkan atau disembunyikan, seolah-olah bentuk transparansi kepada publik dan lain sebagainya.
Padahal secara praktis para pasangan calon tersebut, jelas memerlukan biaya yang tak sedikit ketika ikut serta dalam pesta demokrasi lokal seperti pilkada bupati. Sementara ketika diadakan verifikasi kekayaan sebelumnya, hampir semua pasangan kandidat memiliki kekayaan yang cukup besar. Itulah gambaran kecil perilaku para politisi kita yang sangat pintar memainkan segala lakon dalam fragmen kehidupan nyata asalkan tujuannya tercapai, termasuk memainkan peran pura-pura miskin atau hina sekalipun dengan tanpa merasa malu sedikit pun. Hal ini bisa diketegorikan sebagai kebohongan publik. Oleh karena itu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Garut mestinya menelusuri akan kebenaran saldo rekening para pasangan kandidat Bupati dan Wakil Bupati tersebut, apakah fenomena rekening seperti itu logis, masuk akal atau tidak?
Namun demikian itulah gambaran politik praktis kita di tengah-tengah praktik politik demokrasi yang masih belajar. Tanggal 8 September 2013 merupakan awal rakyat Kabupaten Garut untuk kembali merajut kehidupan selama 5 tahun ke depan bersama pemimpin baru. Semua berharap, akan lahir seorang pemimpin yang benar-benar pro rakyat dan bukan seorang penguasa dengan segala hegemoni syahwat kekuasaannya, hingga mengorbankan kepentingan rakyatnya. Saldo minim rekening kampanye para calon Bupati/Wakil Bupati Garut sungguh di luar logika dan mengundang keheranan dan kecurigaan sejumlah pihak. Di tanah air kita (Indonesia), kini kejujuran adalah barang langka. Oleh karena itu sekarang kejujuran adalah hak untuk menghina anda secara langsung, dan wajah anda tidak boleh merah padam dibuatnya (Judith Martin/Miss Manners).****
Sekecil apapun permainan politik yang sekiranya menguntungkan diri dan kelompoknya, oleh para politisi pasti akan dilakukan. Sementara yang sekiranya merugikan pasti akan ditinggalkan. Dalam konteks praktis, seperti penyerahan saldo rekening kampanye para pasangan kandidat Bupati dan Wakil Bupati Garut kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) yang merupakan salah satu prasyarat mereka. Namun hal itu banyak mengundang pertanyaan publik. Mengingat beberapa pasangan calon yang telah menyampaikan rekeningnya, ternyata hanya terdapat rata-rata jumlah dana (saldo) sebesar Rp. 500 ribuan. Padahal sebagaimana kita ketahui bahwa untuk biaya kampanye/ongkos politik (cost politics) seperti baliho, kaos, topi, tiker beserta biaya “terselubung” lainnya diperkirakan bisa mencapai ratusan juta rupiah, bahkan bisa lebih.
Lalu masyarakat yang “bodoh” sekalipun tentu akan bertanya dari mana dana untuk membeli sejumlah alat peraga seperti baliho, stiker, biaya silaturahmi politik serta biaya-biaya kegiatan bernuansa politik lainnya? Semua ini akan semakin memperkuat “kecurigaan” masyarakat dan semakin mempertebal stigma buruk tentang perilaku para politisi. Ketidakterbukaan tersebut akan memunculkan stigma negatif seperti, pertama biaya kampanye telah disebar oleh masing-masing tim sukses dalam bentuk kampanye hitam. Kedua kemungkinan dana kampanye disembunyikan untuk serangan pajar. Ketiga kemungkinan dana sebagai cadangan politik uang (money politics). Keempat jumlah dana dalam rekening sengaja dikecilkan atau disembunyikan, seolah-olah bentuk transparansi kepada publik dan lain sebagainya.
Padahal secara praktis para pasangan calon tersebut, jelas memerlukan biaya yang tak sedikit ketika ikut serta dalam pesta demokrasi lokal seperti pilkada bupati. Sementara ketika diadakan verifikasi kekayaan sebelumnya, hampir semua pasangan kandidat memiliki kekayaan yang cukup besar. Itulah gambaran kecil perilaku para politisi kita yang sangat pintar memainkan segala lakon dalam fragmen kehidupan nyata asalkan tujuannya tercapai, termasuk memainkan peran pura-pura miskin atau hina sekalipun dengan tanpa merasa malu sedikit pun. Hal ini bisa diketegorikan sebagai kebohongan publik. Oleh karena itu Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD) Garut mestinya menelusuri akan kebenaran saldo rekening para pasangan kandidat Bupati dan Wakil Bupati tersebut, apakah fenomena rekening seperti itu logis, masuk akal atau tidak?
Namun demikian itulah gambaran politik praktis kita di tengah-tengah praktik politik demokrasi yang masih belajar. Tanggal 8 September 2013 merupakan awal rakyat Kabupaten Garut untuk kembali merajut kehidupan selama 5 tahun ke depan bersama pemimpin baru. Semua berharap, akan lahir seorang pemimpin yang benar-benar pro rakyat dan bukan seorang penguasa dengan segala hegemoni syahwat kekuasaannya, hingga mengorbankan kepentingan rakyatnya. Saldo minim rekening kampanye para calon Bupati/Wakil Bupati Garut sungguh di luar logika dan mengundang keheranan dan kecurigaan sejumlah pihak. Di tanah air kita (Indonesia), kini kejujuran adalah barang langka. Oleh karena itu sekarang kejujuran adalah hak untuk menghina anda secara langsung, dan wajah anda tidak boleh merah padam dibuatnya (Judith Martin/Miss Manners).****
0 comments:
Post a Comment