Home » , , » Tim Sukses Oleh H.Usep Romli HM

Tim Sukses Oleh H.Usep Romli HM

Written By Garut Express on Sunday, September 1, 2013 | 11:45 PM



“Mun kula kapilih, andika rek dibengkokan opat bau, “cek Surangga jangji ka Ki Surandil.
                                                           ***
“Kula geus jangji ka andika. Lamun kula kapilih, andika rek disolempangan, rek dijadikeun Raksabumi. Bengkok opat bau. Lain saeutik, “Ki Sastrapermana  nyarita ka ki Asta.
                                                         ***
Dua potongan dialog di atas, dikutip dari buku novel Sunda berjudul “Maju Jurang Mundur Jungkrang” (Rahmat Cijulang, Bandung, 1986), karya Ki Umbara. Ki Suranggga adalah salah seorang  calon Kuwu (kepala desa).  Ki Surandil merupakan “usung-esang” – alias “tim sukses” andalannya. Ki Sastrapermana juga salah seorang kandidat. Ia menggaet Ki Astra sebagai “usung-esang” kepercayaan. Selain ki Surangga dan Ki Sastrapermana, ada lagi seorang calon. Ki Natapraja, petani kaya, didampingi “usung-esang” pilihan bernama Ki Dipa.
Ki Umbara (lahir di Kuningan, 1918, wafat di Bandung Desember 2004), mengisahkan, bagaimana peran tim sukses, menjajakan jagoannya kepada calon pemilih. Bagaimana mereka menjaditukang ngolo-ngolo, tukang ngicuk-ngicuk rahayat nu baroga hak pilih, sangkan bariluk jeung marilih jagoanana”.
Para calon sendiri, melalui tim sukses, tak ragu menebar uang untukmemikat hati calon pemilih. Ki Surangga “ngawur-ngawur duit, sasirahna dibere tilu ringgit sewang”.. Tiap calon pemilih mendapat masing-masing “tilu ringgit”. Sangat besar untuk ukuran masa itu (th.1930-an). Dari mana Ki Surangga mendapat uang begitu berlimpah ? Padahal ia cuma mantan “mandor tiwu” (mandor tanaman tebu). Menurut Ki Asta yang sedang menghasut Ki Sasatrapermana agar mengikuti jejak Ki Surangga jika ingin menang, uang itu “duit Cina”. Pinjaman dari seorang pengusaha non-pribumi yang akan dibayar kelak dengan imbalan-imbalan berlipatganda jika  berhasil meraih kemenangan. Bertahta di atas kursi Kuwu.
Ki Sastrapermana ragu-ragu sekali. Masih mending jika terpilih. Mendapat “bengkok” (tanah inventaris) “salawe bau” (kl. 175. 000 m2). Dengan “tilu opat bau” bekas biaya kampanye dapat dilunasi. Tapi jika tidak terpilih, namun kadung berhutang ? Mendengar majikannya bimbang, Ki Asta nampak kesal sekali. Ia melengos sambil membuang puntung rokok yang sedang diisapnya seraya berkata sinis :
“Nya entong hayang jadi kuwu atuh ari embung rugi mah.”
Pada ahirnya, Ki Asta bersekongkol dengan Ki Sukandil,. Kegigihan Ki Asta mendukung Ki Sastrapermana luntur sudah, setelah mendapat sekantong uang dan sebatang cerutu dari Ki Sukandil. Enteng  saja “tim sukses” Ki Surangga itu membuat pernyataan realistis :
“Kasempetan kieu teh, Ta, tara unggal taun.”
Ya kesempatan langka. Mengapa tidak dimanfaatkan bersama oleh para tum sukses.. Tak usah repot-repot memikirkan akan memilih siapa. Para calon pemilih, biasa menerima uang dari setiap kandidat mana saja. Biarlah mereka mendapat keuntungan dari sana-sini. Sebab pada saat memasukkan “biting” (semacam “kertas suara”) bersifat bebas rahasia. Tak akan ada yang mengetahui.
Praktik licik penuh manipulasi dan konspirasi pemilihan pemimpin tahun 1930-an, yang dilukiskan Ki Umbara di atas, tak mustahil telah menjadi tradisi. Memang istilahusung-esang”  sudah lenyap. Digantikan istilah “tim sukses”. Namun substansi kerja, baik cara maupun tujuannya, mungkin masih tetap. Para calon yang didukung juga masih belum berubah. Menjadi “babalonan” (balon imitasi) yang diapungkan untuk dipilih beramai-ramai. Sekaligus menjadi “bungbulanan” (sasaran) pemerasan” halus dari orang-orang yang ingin menikmati “dana kampanye” serta dari orang-orang yang ingin “menanam modal”. Memberikan dukungan material dengan imbalan yang kelak akan dipetik di masa-masa mendatang. Terutama jika calon berhasil terpilih.
Keberanian Ki Surangga meminjam uang kepada seorang Cina pemilik uang, bukan mustahil masih terjadi juga sekarang. Sebab biaya kampanye seorang calon dikabarkan mencapai ratusan juta hingga ratusan milyar rupiah. Bagaimana membayar kembali pinjaman itu ?  Dengan memberikan konsesi, berupa proyek, atau bentuk-bentuk lain yang dianggap lumrah. Semua orang sudah memaklumi. Sudah dianggap rahasia (pengetahuan ?) umum.
Lalu di mana posisi rakyat pemegang hak pilih ?  Dalam kasus yang dikisahkan Ki Umbara, rakyat pemilih yang rata-rata masih kurang berpendidikan, tidak peduli. Asal “hojih” (berlimpah) menerima “panyawer (tawur uang) dari mana-mana. Walaupun uang yang sampai kepada para pemegang hak pilih mungkin lebih kecil daripada yang masuk ke saku “usung-esang”.
Artinya, sejak dulu hingga sekarang, rakyat pemilik hak pilih – walaupun dalam segi pendidikan dan pengetahuan relatif lebih meningkat -- tetap dalam posisi pasif. Para calon dan “tim sukses” di pihak lain, tampak sangat atraktif, agresif dan bahkan kadang-kadang permisif. Kasus perselingkuhan model Ki Asta dan Ki Sukandil mungkin pula tak dapat terhindarkan.  Ucapan Ki Sukandil “kasempetan kieu tara unggal taun” siapa tahu masih terus berlaku dan selalu benar adanya.
 Maka apabila perhelatan usai, tak ada perubahan signifikan yang dirasakan langsung rakyat. Pemimpin terpilih akan lebih dulu sibuk mengurus kepentingan para tim sukses. Tak peduli mereka mirip Ki Asta dan Ki Sukandil.Memmbagi-bagi konsesi yang dijanjikan kepada para penunjang modal.
Bagaimana  nasib rakyat yang telah memilih mereka ? Entahlah !***
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Garut Express - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger