“Mun kula kapilih, andika rek dibengkokan opat bau, “cek
Surangga jangji ka Ki Surandil.
***
“Kula geus jangji ka andika. Lamun kula kapilih, andika
rek disolempangan, rek dijadikeun Raksabumi. Bengkok opat bau. Lain saeutik,
“Ki Sastrapermana nyarita ka ki Asta.
***
Dua potongan dialog
di atas, dikutip dari buku novel Sunda berjudul “Maju Jurang Mundur Jungkrang” (Rahmat Cijulang, Bandung, 1986),
karya Ki Umbara. Ki Suranggga adalah salah seorang calon Kuwu (kepala desa). Ki Surandil merupakan “usung-esang” – alias “tim
sukses” andalannya. Ki Sastrapermana juga salah seorang kandidat. Ia
menggaet Ki Astra sebagai “usung-esang”
kepercayaan. Selain ki Surangga dan Ki Sastrapermana, ada lagi seorang calon. Ki
Natapraja, petani kaya, didampingi “usung-esang”
pilihan bernama Ki Dipa.
Ki Umbara (lahir di
Kuningan, 1918, wafat di Bandung Desember 2004), mengisahkan, bagaimana peran tim sukses, menjajakan
jagoannya kepada calon pemilih. Bagaimana
mereka menjadi “tukang
ngolo-ngolo, tukang ngicuk-ngicuk rahayat nu baroga hak pilih, sangkan bariluk
jeung marilih jagoanana”.
Para calon sendiri, melalui tim sukses, tak ragu menebar uang untukmemikat hati calon pemilih.
Ki Surangga “ngawur-ngawur
duit, sasirahna dibere tilu ringgit sewang”.. Tiap calon pemilih mendapat
masing-masing “tilu ringgit”. Sangat
besar untuk ukuran masa itu
(th.1930-an). Dari mana Ki Surangga mendapat uang begitu
berlimpah ? Padahal ia cuma mantan “mandor tiwu” (mandor tanaman tebu). Menurut
Ki Asta yang sedang menghasut Ki Sasatrapermana agar mengikuti jejak Ki
Surangga jika ingin menang, uang itu “duit
Cina”. Pinjaman dari seorang pengusaha non-pribumi yang akan dibayar kelak
dengan imbalan-imbalan berlipatganda jika
berhasil meraih kemenangan. Bertahta di atas kursi Kuwu.
Ki Sastrapermana
ragu-ragu sekali. Masih mending jika terpilih. Mendapat “bengkok” (tanah inventaris) “salawe
bau” (kl. 175. 000 m2). Dengan “tilu
opat bau” bekas biaya kampanye dapat dilunasi. Tapi jika tidak terpilih,
namun kadung berhutang ? Mendengar majikannya bimbang, Ki Asta nampak kesal
sekali. Ia melengos sambil membuang puntung rokok yang sedang diisapnya seraya
berkata sinis :
“Nya entong hayang jadi kuwu atuh ari embung rugi mah.”
Pada ahirnya, Ki
Asta bersekongkol dengan Ki Sukandil,. Kegigihan Ki Asta mendukung Ki
Sastrapermana luntur sudah, setelah mendapat sekantong uang dan sebatang cerutu
dari Ki Sukandil. Enteng saja “tim
sukses” Ki Surangga itu membuat pernyataan realistis :
“Kasempetan kieu teh, Ta, tara unggal taun.”
Ya kesempatan
langka. Mengapa tidak dimanfaatkan bersama oleh para tum sukses.. Tak usah
repot-repot memikirkan akan memilih siapa. Para calon pemilih, biasa menerima
uang dari setiap kandidat mana saja. Biarlah mereka mendapat keuntungan dari
sana-sini. Sebab pada saat memasukkan “biting”
(semacam “kertas suara”) bersifat bebas rahasia. Tak akan ada yang mengetahui.
Praktik licik penuh
manipulasi dan konspirasi pemilihan pemimpin tahun 1930-an, yang dilukiskan Ki
Umbara di atas, tak mustahil telah menjadi tradisi. Memang istilah“usung-esang” sudah lenyap. Digantikan istilah “tim sukses”.
Namun substansi kerja, baik cara maupun tujuannya, mungkin masih tetap. Para
calon yang didukung juga masih belum berubah. Menjadi “babalonan” (balon imitasi) yang diapungkan untuk dipilih
beramai-ramai. Sekaligus menjadi “bungbulanan”
(sasaran) “pemerasan” halus dari
orang-orang yang ingin menikmati “dana kampanye” serta dari orang-orang yang
ingin “menanam modal”. Memberikan dukungan material dengan imbalan yang kelak
akan dipetik di masa-masa mendatang. Terutama jika calon berhasil terpilih.
Keberanian Ki
Surangga meminjam uang kepada seorang Cina pemilik uang, bukan mustahil masih
terjadi juga sekarang. Sebab biaya kampanye seorang calon dikabarkan mencapai
ratusan juta hingga ratusan milyar rupiah. Bagaimana membayar kembali pinjaman
itu ? Dengan memberikan konsesi, berupa
proyek, atau bentuk-bentuk lain yang dianggap lumrah. Semua orang sudah
memaklumi. Sudah dianggap rahasia (pengetahuan ?) umum.
Lalu di mana posisi
rakyat pemegang hak pilih ? Dalam kasus
yang dikisahkan Ki Umbara, rakyat pemilih yang rata-rata masih kurang berpendidikan,
tidak peduli. Asal “hojih”
(berlimpah) menerima “panyawer” (tawur uang) dari mana-mana. Walaupun uang
yang sampai kepada para pemegang hak pilih mungkin lebih kecil daripada yang
masuk ke saku “usung-esang”.
Artinya, sejak dulu
hingga sekarang, rakyat pemilik hak pilih – walaupun dalam segi pendidikan dan
pengetahuan relatif lebih meningkat -- tetap dalam posisi pasif. Para calon dan
“tim sukses” di pihak lain, tampak sangat atraktif, agresif dan bahkan
kadang-kadang permisif. Kasus perselingkuhan model Ki Asta dan Ki Sukandil
mungkin pula tak dapat terhindarkan.
Ucapan Ki Sukandil “kasempetan
kieu tara unggal taun” siapa tahu masih terus berlaku dan selalu benar
adanya.
Maka apabila perhelatan usai, tak ada
perubahan signifikan yang dirasakan langsung rakyat. Pemimpin terpilih akan
lebih dulu sibuk mengurus kepentingan para tim sukses. Tak peduli mereka mirip Ki Asta dan Ki
Sukandil.Memmbagi-bagi
konsesi yang dijanjikan kepada para penunjang modal.
Bagaimana nasib
rakyat yang telah memilih mereka ? Entahlah !***
0 comments:
Post a Comment