Home » , » Maulud, dari Ziarah hingga Memandikan Pusaka

Maulud, dari Ziarah hingga Memandikan Pusaka

Written By Garut Express on Thursday, January 31, 2013 | 9:02 PM

CEP/"GE"
SEJUMLAH kuncen Makam Keramat Godog mengangkat peti yang berisi benda-benda pusaka milik Prabu Kian Santang untuk dimandikan

CEP/"GE"
BENDA pusaka seperti keris dan senjata tajam lainnya milik Prabu Kian Santang siap dimandikan.*




Maulud, dari Ziarah hingga Memandikan Pusaka

BULAN Maulud merupakan bulan anugrah, pasalnya pada bulan itulah Nabi Muhammad lahir ke dunia dan kemudian menjadi rahmatan lil alamin.
Mungkin karena bulan anugrah, maka pada bulan Maulid banyak sekali kegiatan ritual yang dilaksanakan umat muslim, dari mulai mendatangi makam-makam wali atau ulama terkenal, memandikan barang pusaka yang dulunya menjadi pegangan tokoh penyebar Islam, dan sebagainya.
Lepas dari pro kontra yang hingga kini masih berlangsung, akan tetapi kegiatan mengunjungi makam tokoh Islam (ziarah) serta memandikan barang-barang pusaka kian hari ternyata kian diminati masyarakat muslim.
Garut sendiri memiliki banyak makam-makam keramat yang setiap bulan Maulud selalu dipatai peziarah. Selain itu, di beberapa tempat, ada kegiatan-kegiatan ritual yang ikut menyemarakan bulan di mana Nabi Muhammad lahir.
Di bawah ini dipaparkan tempat-tempat di Garut yang menjadi tujuan peziarah dan selalu penuh sesak pada bulan Maulid serta kegiatan ritual memandikan pusaka.


Tradisi "Ngalungsur Pusaka"
Seperti diketahui, Godog adalah salah satu tempat ziarah yang sangat terkenal sebab di sini ada makam penyebar Islam yakni Syech Sunan Rohmat Suci yang lebih dikenal sebagai Kian Santang, putra Prabu Siliwangi. Godog merupakan bagian dari Desa Lebak Agung, Kecamatan Karangpawitan, sekitar 10 kilometer dari Garut Kota.
Kegiatan "Ngalungsur Pusaka" di Godog dilakukan antara tgl 12-14 Maulid. Menurut keterangan, kegiatan ini digelar sebagai ungkapan penghormatan dari masyarakat terhadap Kian Santang karena jasanya dalam menyebarkan agama Islam di daerah Garut. Ungkapan rasa hormat tersebut direalisasikan dengan cara menjaga dan merawat benda-benda pusaka milik Kian Santang, seperti keris, Al- Quran, Skin dan sebagainya.
Kegiatan ini kerap pula dimeriahkan dengan pegelaran kesenian Islami atau bakti sosial berupa khitanan massal atau memberikan santunan untuk masyarakat miskin.
Benda-benda pusaka milik Sunan Godog (Kian Santang) yang sehari-hari tersimpan di peti di bagian atas bangunan makam, pada bulan Maulid dikeluarkan. Biasanya pusaka-pusaka tersebut dikeluarkan pada tanggal 14 bertepatan dengan tanggal lahirnya Nabi Muhammad. Selain tanggal itu, maka pusaka-pusaka tersebut tabu (dilarang) dikeluarkan.
Sesuai dengan nama kegiatannya yakni Ngalungsur Pusaka, maka pusaka-pusaka milik Kian Santang tersebut diturunkan untuk kemudian dimandikan dengan air yang telah dicampur kembang dan minyak wangi. Orang yang memandikannya pun tak boleh sembarangan. Mereka adalah para juru kunci di Makam Godog.
Juru kunci (kuncen) Makam Syekh Sunan Rohmat, Ahmad Syarifudin menjelaskan, tradisi Ngalungsur Pusaka telah dilaksanakan secara turun temurun, sejak Embah Dalem Pager Jaya sekitar tahun 1500-an.
"Tradisi ieu ngarupikeun salah sahiji cara kanggo ngahormat titinggal karuhun, oge kanggo ngemutan ka sakur anu masih keneh jumeneng yen Islam di tanah Pajajaran di perjuangkeun kalayan daria ku karuhun urang ka pungkur, hususna di tanah Pajajaran salah sawios anu bajoangna teh nyaeta Sech Sunan Rohmat Suci atanapi Prabu Kiansantang tea," katanya.
Tak hanya masyarakat biasa yang hadir dalam acara "Ngalungsur Pusaka" tapi juga pejabat termasuk bupati. Bahkan dalam kesempatan itu, bupati atau pihak yang mewakilinya biasa memberikan sambutan untuk memberikan penghormatan atas jasa-jasa Kian Santang yang telah menyebarkan Islam di daerah Garut.
Menurut catatan sejarah, Kian Santang adalah anak Prabu Siliwangi dari perkawinannya dengan Dewi Kumala Wangi. Selain Kian Santang, dari rahim, Dewi Kumala Wangi lahir pula Dewi Rara Santang jeung Walangsungsang. Kian Santang lahir di Pajajaran yang sekarang menjadi daerah Bogor sekitar tahun 1315 Masehi.
Ketika berumur 22 tahun, Kian Santang dipercaya menjadi Dalem Bogor hampir bertepatan dengan pelantikan Prabu Munding Kawati menjadi Panglima Pajajaran. Peristiwa tersebut kemudian diabadikan dalam batu yang ditulis oleh Prabu Susuk Tunggal. Hingga sekarang batu tersebut dikenal dengan nama Batu Tulis Bogor.
Sekitar tahun 1348 Prabu Kiansantang masuk agama Islam. Beberapa tahun kemudian ia bermukim di Gunung Suci (sekarang Godog).
Di tempat itu ia membangun masjid yang kini disebut Masjid Pusaka Keramat Godog, yang jaraknya sekitar 1 km dari makamnya. Kian Santang tutup usia taun 1419 Masehi atawa taun 849 Hijrah dan dimakamkan di tempat itu juga.
Kegiatan serupa yang dilaksanakan pada bulan Maulid juga digelar di Limbangan. Bedanya, kegiatan lungsur pusaka di tempat itu bukan hanya memandikan benda-benda pusaka semata, melainkan juga ada kegiatan ijazahan. Ijazahan adalah kegiatan menurunkan ilmu kalimbanganan lewat serangkaian doa. Uniknya, doa ini tak boleh ditulis melainkan harus hafal di luar kepala. (cep)***

-----------------------------



Lebih Meriah dari Idul Fitri

KAMPUNG Dukuh didirikan Syekh Abdul Jalil, ulama besar yang dipercaya Bupati Sumedang, Rangga Gempol II  untuk menjadi penghulu/ kepala agama di Kesultanan Sumedang pada abad ke-17.
Ketika diminta menjadi penghulu, Syekh Abdul Jalil mengajukan dua syarat, yang pertama tidak boleh melanggar hukum syara (hukum agama, seperti membunuh, berzinah, merampok dan sebagainya), dan yang kedua adalah bupati/pemimpin dan rakyatnya harus bersatu. Jika kedua syarat tersebut tidak dilanggar maka ia akan mengundurkan diri dari jabatan penghulu.
Dua belas tahun kemudian terjadilah pembunuhan utusan dari Kerajaan Banten. Pembunuhan itu diperintahkan oleh Rangga Gempol II karena Rangga Gempol menolak untuk tunduk ke Kerajaan Banten. Kejadian itu membuat sedih Syekh Abdul Jalil karena telah terjadi pelanggaran terhadap syarat yang diajukannya. Maka ia pun meninggalkan Sumedang. Setelah tinggal di beberapa tempat, akhirnya tiba di Cikelet dan kemudian menetap di sana sambil menyebarkan agama Islam. Maka terbentuklah Kampung Dukuh.
Bagi masyarakat Dukuh, bulan Maulud merupakan bulan yang cukup penting. Hal ini terlihat dari sejumlah kegiatan yang biasa dilaksanakan pada bulan tersebut sejak tanggal 11 Maulud.
Selain memandikan barang pusaka sebagaimana di Godog, di Kampung Dukuh digelar pula beberapa ritual lainnya.
Yang paling seru adalah pada tanggal 13 Maulud malam hari. Saat itu masyarakat luar Kampung Dukuh pun ikut memeriahkan acara puncak tersebut.
 Setelah sahalat Isya, digelar kegiatan Wejangan di rumah kuncen. Biasanya peserta Muludan sangat banyak sehingga sebagian besar duduk-duduk di halaman sambil mendengarkan Wejangan dari kuncen.
Wejangan di antaranya berisi  penjelasan-penjelasan tentang Kampung Adat Dukuh sekaligus sejarah Dukuh.
Setelah Wejangan selesai kemudian digelar acara Wasiat. Acara ini biasanya dibawakan oleh warga Dukuh yang paling tua. Acara dilanjutkan dengan pelaksanaan Adus (Mandi Berkah). Semua yang hadir, yang ikut upacara 14 Mulud, berangkat menuju ke jamban (pancuran suci) untuk melaksanakan mandi berkah.

Ngabungbang
Mereka yang selesai mandi, kemudian mengikuti acara Ngabungban yang di antaranya diisi dengan membersihkan/memandikan alat pusaka berupa keris pusaka yang disebut Si Lember dan keris lainnya. Kegiatan ini hanya dilakukan oleh kuncen dan wakilnya.
Selama memandikan benda-benda pusaka, di luar ditabuh Terebang, kesenian khas Dukuh yang di antaranya diisi dengan lantunan sholawat.
Upacara Ngabungbang dilaksanakan hingga menjelang shalat Subuh.(cep)***

------------------------
HUMAS

WAKIL Bupati Garut H. Agus Hamdani, S. Pd.I beserta istri, Rabu (23/1) pagi mengikuti ziarah di Makam Raden Patrajaya Kusumah di Kampung Cihayam, Desa Surabaya, Kecamatan Limbangan.

Tempat Ziarah 

Makam Eyang Papak

Eyang Papak merupakan penyebar Islam di daerah Garut. Makamnya terletak di Cinunuk Wanaraja. Bangunan makam itu terdiri dari bangunan pokok, yang dijadikan tempat pekuburan Pangeran Papak luasnya 96 meter2.
Di tempat itu terdapat pula beberapa peninggalan benda pusaka masa lalu seperti pedang, keris, goong, sadel kuda dan sebagainya.
Sebelum masuk ke makam, sejumlah peziarah biasanya mandi di sumur tujuh. Air di sumur tujuh bahkan dipercaya memiliki khasiat.


raden papak dan menginap di desa cinunuk terasa ajaran beliau masih ada dengan tidak ada perbedaan di antara sesama warga,suasana agamis begitu terasa sungguh ini menjadi suri teladan dan contoh yangPengaruh dari ajaran-ajaran Islam terhadap penduduk Garut bekembang dengan mendalam, sebagai peninggalan sejarah penyebaran agama Islam antara lain adanya makam Godog yang dikatakan sebagai makam keramat; yaitu makam Prabu Kiansantang penganut Nama Limbangan saat ini masih ada dan Senjata Pusaka pun masih ada pada keturunan Raden Wangsa Muhammad alias Pangeran Papak di Cinunuk Kabupaten Garut. Dalam sejarah Kabupaten Limbangan disebutkan bahwa Bupati Limbangan yang


Eyang Jafar Sidik

Di daerah yang terkenal dengan sambalnya ini, ada Makam Jafar Umar Sidik, yang juga merupakan penyebar agama Islam. Di tempat ini ada empat makam utama yang kesemuanya merupakan kerabat dekat dari Jafar Umar Sidik, yakni Makam Eyang Abdul Jabar yang merupakan mertua Jafar Umar Sidik, Makam Mbah Wali Syekh Jafar Sidik sendiri, Eyang Siti Fatimah yang merupakan istri dari Jafar Umar, dan Makam Eyang Wali Muhamad Nur Kosim yang merupakan kakaknya.


Sunan Cipancar

Sunan Cipancar merupakan Dalem Limbangan yang bernama Adipati Limansenjaya Kusumah. Tokoh Islam ini dikenal dengan kegagahannya.
Suatu saat Sunan Gunung Jati, Syarif Hidayatullah, mengadakan pertemuan para tokoh penyebar agama Islam. Dalam undangan dibubuhi kalimat, bahwa siapa saja yang datang terlambat akan dihukum mati dengan senjatanya sendiri.
Karena berbagai halangan di perjalanan, harus menerobos hutan lebat sungai yang sulit dilintasi dan turun naik gunung, maka Adipati Limansenjaya Kusumah terlambat sedikit di tempat pertemuan. Ia pun langsung disambut beberapa algojo yang akan melaksanakan hukuman mati sesuai dengan yang tercantum dalam surat undangan.
Dengan gagah, Limansenjaya menyerahkan sendiri kerisnya kepada algojo. Namun keanehan terjadi. Ketika algojo menarik keris dari “serangka” nya, tiba-tiba memancar lapad “laa iqro hafiddien”. Sejenak algojo tidak bergerak, ia kaget dan seperti tidak berdaya kemudian bersujud kepada Adipati Limansenjaya Kusumah.
Mengetahui hal itu, Sunan Gunung Jati  maklum bahwa pemegang keris dengan lapad “laa iqro hafiddien” adalah seorang yang sangat besar jasanya dalam mengembangkan agama Islam. Bahkan keris itu pun adalah anugrah dari Prabu Kian Santang, paman Sunan Gunung Jati sendiri.
Hukuman mati dibatalkan dan Adipati Limasenjaya Kusumah dipersilakan duduk sejajar dengan tokoh-tokoh penyebar Islam lainnya.
Konon istilah ”Limbangan” pun lahir dalam peristiwa di atas. Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatulah mengusulkan supaya nama Galeuh Pakuan diganti dengan “Imbangan” yang maknanya ialah bahwa Adipati Limasenjaya Kusumah seimbang dengan Sunan Gunung Jati sebagai penyebar dan dakwah Islam.
Adipati Limansenjaya Kusumah dimakamkan di Kampung Pasir Huut di bekas Keraton Galeuh Pakuan .Tetapi 80 tahun kemudian makamnya dipindahkan oleh Dalem Suriakusumah Rangga Megatsari ke Kampung Pasir Astana sebelah atas dari kali Cipancar. Oleh karena itu Adipati Limansenjaya Kusumah alias Adipati Jaya alias Sunan Pancer dikenal pula sebagai Sunan Cipancar. (Cep)***
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Garut Express - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger