![]() |
Add caption |
TREND POLITIK BLUSUKAN
Oleh:
IDRIS APANDI, M.Pd
TAHUN 2013-2014
adalah tahun politik. Suhu politik cenderung meningkat seiring dengan
meningkatnya persiapan partai politik menjelang pemilu 2014. Tahun ini pun ada
Kabupaten/Kota, dan Provinsi yang melaksanakan pemilihan Kepala Daerah.
Misalnya di Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Sumedang, Kota Sukabumi dan
Provinsi Jawa Barat.
Seiring dengan
meningkatnya suhu politik ada trend yang muncul, yaitu trend politik blusukan.
Istilah blusukan dikenal sejak Jokowi mulai tampil dalam pentas politik
nasional. Nama Jokowi, sebelum menjadi Gubernur DKI Jakarta, adalah Walikota
Solo yang dikenal sosok politisi yang jujur, dekat dengan rakyat kecil. Beliau
masuk ke kampung-kampung, pasar-pasar, dan terminal untuk melihat dan mendengar
aspirasi masyarakat. Beliau dikenal sebagai pemimpin yang pro rakyat, Beliau
ingin mempertahankan keberlangsungan pasar tradisional, menertibkan PKL tanpa
ada perlawanan dari para PKL. Berbeda dengan tempat-tempat lain dimana setiap
penertiban PKL diwarnai oleh bentrok antara PKL dengan aparat. Karena
prestasinya tersebut, Jokowi mendapatkan penghargaan dari sebuah lembaga
internasional sebagai peringkat ketiga Walikota terbaik di dunia.
Setelah
menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, nama Jokowi makin bersinar, memikat hati
rakyat Jakarta. Media juga tidak luput untuk memberitakan setiap aktivitas
Jokowi. Gaya blusukan digunakan Jokowi baik pada saat kampanye maupun setelah
menjabat Gubernur. Hampir setiap hari, Jokowi masuk ke kampung-kampung kumuh,
mengunjungi pasar tradisional, mengunjungi terminal, mengecek sungai dan
bendungan, terjun langsung menangani banjir Jakarta. Dan untuk memantau kinerja
aparat dan kualitas pelayanan publik, Jokowi blusukan ke instansi-instansi
pemerintah.
Gaya blusukan
dinilai sebagai cara yang efektif untuk merebut hati rakyat, melihat kondisi
nyata di lapangan, tidak hanya mengandalkan laporan dari bawahan yang kadang ABS alias Asal Bapak Senang. Gaya blusukan
yang sudah terlanjur diidentikkan dengan sosok Jokowi diprediksikan akan banyak
ditiru oleh banyak politisi untuk meraih simpati publik jelang pemilu.
Beberapa waktu
yang lalu, Presiden SBY juga blusukan ke sebuah kampung nelayan di Tangerang
Banten. Media kemudian membanding-bandingkan blusukan Presiden SBY dengan gaya
blusukan Jokowi. Banyak pihak menilai bahwa Presiden SBY “meniru” gaya
Jokowi. Tetapi hal tersebut dibantah
oleh pihak istana karena Presiden SBY pun sudah lama suka blusukan tetapi tidak
diekspose ke publik.
Penulis melihat
bahwa ada perbedaan suasana antara blusukannya Jokowi dan SBY. Ketika Jokowi
blusukan ke kampung-kampung, suasana terlihat sangat akrab, hampir tidak ada
jarak antara Jokowi dengan rakyat. Sementara Presiden SBY meskipun tampak dekat
dengan rakyat, tapi suasana protokoler masih terlihat. Presiden dikelilingi
Paspampres berpakaian preman. Hal itu sebenarnya wajar saja, karena sebagai
kepala negara, Presiden beserta keluarganya wajib untuk dikawal oleh Paspampres
diminta atau pun tidak. Namun, blusukannya SBY banyak yang menilai dalam rangka
pencitraan partai Demokrat menghadapi Pemilu 2014. SBY sendiri sudah tidak bisa
mencalonkan kembali menjadi Presiden karena sudah menjabat Presiden sebanyak
dua kali masa jabatan.
Sebenarnya gaya
politik blusukan bukan hal yang baru dilakukan oleh seorang pemimpin negara.
Pada masa Orde Baru, Presiden Soeharto melakukan kegiatan sambung rasa dengan
para petani, mengadakan panen raya bersama petani. Pada acara sambung rasa,
presiden memberikan arahan sekaligus mendengarkan menjawab pertanyaan dari para
petani. TB Hasanuddin, mantan ajudan Presiden yang kini menjadi anggota DPR
mengatakan bahwa Presiden Soeharto pernah blusukan dengan cara “menyamar”
sebagai rakyat, tanpa protokoler dan mengendarai kendaraan sendiri.
Seorang pemimpin
memang harus blusukan. Mau turun langsung ke lapangan tanpa banyak protokoler
dan gembar-gembor. Mau melihat, mendengar, dan merasakan apa yang dirasakan
oleh rakyatnya. Karakter pemimpin yang
seperti itu yang saat ini dibutuhkan di tengah-tengah krisis kepemimpinan di
masyarakat. Stigma karakter pemimpin selama ini adalah birokratis, protokoler,
dan jauh dari rakyat. Stigma tersebut harus diubah di tengah semakin kuatnya
tuntutan karakter pemimpin yang mengayomi rakyatnya.
Dari sisi
komunikasi, blusukan adalah sebuah pola komunikasi politik antara pemimpin
dengan rakyatnya. Pesan yang ingin dimunculkan adalah komunikasi empatik,
humanis, partisipatif, serta egaliter antara pemimpin dengan rakyatnya. Karena
pada dasarnya pemimpin adalah pemegang mandat rakyat.
Dalam sejarah
Islam pun model politik blusukan sudah dicontohkan oleh Nabi Muhammad SAW dan
para khalifah. Dan itulah yang menyebabkan kaum quraisy bisa menerima agama
Islam. Dalam sebuah riwayat diceritakan bagaimana Rasulullah SAW setiap hari menyuapi
seorang perempuan kafir quraisy yang buta. Perempuan itu tidak tahu bahwa yang
menyuapinya setiap hari adalah Rasulullah SAW. Sambil disuapi oleh Rasulullah
SAW, dia terus berbicara menjelek-jelekkan Rasulullah. Tapi Beliau tidak
menghiraukan ocehan perempuan tersebut. Beliau terus menyuapi perempuan tua
tersebut hingga Beliau wafat.
Suatu hari
datang Abu Bakar untuk menggantikan Rasulullah SAW menyuapi peremuan buta
tersebut. Tetapi perempuan buta tersebut menolak dan mengatakan bahwa yang
menyuapinya adalah orang yang berbeda, bukan orang yang sudah biasa
menyuapinya. Lantas Abu Bakar berkata bahwa orang yang suka menyuapinya selama
ini adalah Rasulullah SAW dan Beliau telah wafat. Mendengar hal tersebut,
perempuan tersebut menangis. Orang yang dia jelek-jelekkan selama ini, ternyata
adalah orang yang suka menyuapinya. Dilandasi oleh kemuliaan akhlak Rasul,
akhirnya perempuan buta itupun mengucap dua kalimah syahadat, masuk Islam.
Dalam kisah
lain diceritakan khalifah Umar bin Khatab setiap malam blusukan ke kampung
untuk mengontrol keamanan rakyatnya. Dan suatu malam di sebuah rumah Beliau
menemukan dua anak yang tengah menangis minta makan dan ibunya tengah memasak
air. Kemudian Beliau menghampirinya dan bertanya kepada sang ibu. Sang ibu
mengatakan kedua anaknya tersebut
menangis karena kelaparan. Beliau kemudian pergi ke gudang, memanggul
sendiri gandum, dan memberikannya kepada sang ibu.
Kedua kisah
tersebut memberikan gambaran bahwa pemimpin yang blusukan adalah pemimpin yang
bertipe melayani rakyat sehingga mampu memikat hati rakyat. Tanpa dipaksa,
rakyat pun akan taat dan mencintai pemimpinnya. Mampu membangkitkan kepercayaan
dan membangun wibawa.
Gaya Jokowi
yang blusukan banyak menginspirasi banyak politisi dan pemimpin untuk meniru
gaya Jokowi. Meskipun demikian, image blusukan
sudah terlanjur melekat dalam sosok Jokowi. Sama halnya dengan baju kotak-kotak
yang dipakainya pada masa kampanye Calon Gubernur DKI. Banyak pasangan calon
Kepala Daerah yang juga menyontek menggunakan baju kotak-kotak tapi gagal
meraih simpati. Menurut penulis, masalahnya bukan terletak pada blusukan atau
baju kotak-kotak, tapi terletak kepada kompetensi dan integritas. Oleh karena
itu, bagi seorang calon pemimpin hendaknya memiliki dua sifat tersebut.
Blusukan ke kampung-kampung jangan hanya pada saat kampanye saja, tetapi
setelah memimpin harus melakukan hal yang sama supaya tidak disebut pencitraan.
Penulis,
Praktisi Pendidikan, Pemerhati Masalah Sosial, Tinggal di Kab. Bandung Barat
0 comments:
Post a Comment