SAAT ini tumpuan perekonomian Garut masih pada pertanian. Terlihat dari PDRB (Produk Domestik Regional Bruto) Garut yang masih didominasi sektor pertanian, seperti hortikultura, perkebunan, kehutanan, pokoknya yang berbasis pertanian. Demikian dikatakan Calon Bupati Nomor Urut 1, H. Dedi Suryadi yang berpasangan dengan H. Deddy Dores Supriyadi.
Dikatakannya, Garut ada dalam posisi sedikit menjorok sehingga berada pada lintasan (jalur perekonomian) saja. Harus ada rekayasa teknologi sehingga Garut menjadi daerah yang dapat akses dengan mudah. Namun, kondisi geografis dari mulai 0 m dpl (di atas permukaan laut) sampai 1.600 m dpl memungkinkan segala jenis pertanian tumbuh. Ini merupakan sumber daya yang memungkinkan Garut mengembangkan pertanian terpadu.
“Bisa membuat pertanian yang terpadu. Misalnya, mendukung sektor peternakan dan sekaligus juga sektor pariwisata. Jadi, dimulai dari pertanian. Daerah yang berada di bawah itu ditanami padi. Agak ke tengah daerah perkebunan dan naik ke atas menjadi pengembangan kehutanan dan hortikultura dan buah-buahan. Jadi, di Garut ini semuanya memungkinkan dikembangkan,” katanya.
Belum terpadunya sektor pertanian dengan yang lainnya, dicontohkan H. Dedi, seperti pada sisa limbah padi. Di satu sisi limbah padi saja sangat berlimpah. Di sisi lain, makanan ternak untuk sapi itu masih mahal harganya. Ini belum ada upaya rekayasa. Daerah Garut juga mempunyai hamparan lahan yang masih terlantar. Namun untuk mendapatkan pakan hijau ternak saja masih susah.
Ditegaskan H. Dedi, Garut juga harus mendorong terjadinya value added (nilai tambah). Selama ini Garut sebatas menjual bahan mentah ke Jakarta, Bandung, dan ke daerah lainnya. Lima puluh persen produksi hortikultura Jawa Barat itu di Garut. Tetapi value added terjadi di pasar perkotaan. Ini harus menjadi pemikiran ke depan, bagaimana berkembanga dari agrobisnis ke agroindustri .
“Di Garut harus ada industri hasil pengolahan pertanian. Harus punya pabrik pasta, punya industri rumah yang mengolah bahan mentah menjadi barang jadi ; misalnya industri makanan ringan , keripik, dodol, dan sebagainya. Sekarang sudah mulai terlihat trend-nya ke sana. Karena ini sekaligus menjadi daya dukung ke pariwisata. Apalagi sekarang Garut sudah banyak dikunjungi sebagai daerah kuliner. Ini menjadi sebuah tantangan,” katanya.
H. Dedi menambahkan, mendorong terjadinya nilai tambah hasil pertanian berkaitan dengan kultur petani. Sedangkan, petani di Garut sejauh ini sudah terbiasa hanya sebatas menanam lalu menjual.
“Memang ini tidak mudah. Harus dilakukan upaya pendidikan dan pelatihan. Petani dan pengusaha perlu diberikan pelatihan keterampilan,” imbuhnya.
Ada kesulitan tersendiri, lanjutnya, dalam merubah kultur petani. Dirinya juga agak heran, sekolah pertanian tidak diminati orang tua maupun siswa.
Disatu sisi, Garut sangat berpotensi di pertanian. Sementara, ketertarikan masyarakat terhadap pengembangan pertanian masih sangat rendah. Itu memang—imbas dari—belum diberikannya perhatian yang baik terhadap sektor pertanian dari pemerintah. Misalnya, pengembangan teknologi, permodalan, dan lain sebagainya.
“Apa yang harus dilakukan agar sekolah pertanian diminati? Karena memang pertanian mungkin tidak menarik bagi kalangan muda karena nilai tambah di sektor pertanian dari hari ke hari susah. Ini perlu intervensi pemerintah. Di lain pihak, permodalan di pertanian sulit. Saya sangat rasakan hampir tidak ada perbankan yang mau (memberikan pembiayaan kepada pertanian). Karena memang resiko di pertanian cukup tinggi,” ungkapnya.
Ditegaskan H. Dedi, perlu ada peran lain dari pemerintah. Seluruh stakeholder dijalankan dalam satu koordinasi. Seperti koordinasi antara Dinas Perkebunan, Dinas Kehutanan, Dinas Tanaman Pangan dan Hortikultura, serta dinas/instansi terkait lainnya.
“Jadi belum ada pada satu koordinasi yang bagus. Sehingga sektor pertanian seperti itu. Kita sangat merasakan (kesulitan) dari hal-hal yang sangat sederhana. Garut memerlukan banyak bibit, tapi kita harus beli dari luar daerah. Padahal teknologinya bisa dikembangkan sendiri,” katanya.
Oleh karena itu, H. Dedi memiliki misi bagaimana hal-hal yang tidak bisa dikerjakan masyarakat itu dilakukan oleh Pemda. Dengan cara membuat badan-badan layanan umum daerah, misalnya BUMD yang bergerak di bidang pembibitan tanaman. Langkah ini bisa disinergikan dengan tujuan peningkatan pendapatan asli daerah itu sendiri.
“Selama ini hanya mengandalkan retribusi, pajak restoran dan hotel. Ini (pendapatannya) rendah bila dibandingkan dengan Pemda mengelola sumber-sumber yang mendukung aktifitas msayarakat. Itu akan jauh lebih besar,” tuturnya.
Mengenai potensi sumber daya alam, termasuk energi dan mineral, H. Dedi menjelaskan, untuk mineral Garut mempunyai potensi pertambangan seperti pasir besi, emas, dan sebagainya. Ada yang mengatakan bahwa selama ada sektor lain yang bisa dikembangkan maka yang ini (energi dan mineral) tidak dulu disentuh.
Karena memang, katanya, ada resiko-resiko lainnya. Namun sebetulnya yang terpenting bagaimana sumber mineral dan energi itu bisa dikelola dan masyarakat sekitarnyalah yang menikmati hasilnya.
“Masyarakat belum merespon karena selama ini mereka hanya “kebagian” jalan-jalan yang rusak dan debu. Ini terjadi karena perlindungan terhadap masyarakat belum optimal,” ungkapnya. (Firman)***
0 comments:
Post a Comment