Home »
Demos Cratos
» BAGAIMANA KINERJA ANGGOTA DPRD ???
BAGAIMANA KINERJA ANGGOTA DPRD ???
Written By Garut Express on Tuesday, November 27, 2012 | 8:56 AM
BAGAIMANA KINERJA ANGGOTA DPRD ???
Oleh : Abdal
Kinerja anggota DPRD saat ini mendapat sorotan yang sangat tajam dari masyarakat seiring dengan terbukanya kran demokratisasi dalam pilar reformasi yang terjadi di Indonesia, sehingga banyak ekspektasi masyarakat yang digantungkan pada anggota DPRD ini. Tapi kenyataannya, ternyata anggota DPRD belum banyak menampilkan kinerja seperti yang diharapkan masyarakat. Fenomena penyelewengan dana APBD atau yang lebih dikenal dengan istilah “APBD gate” adalah fenomena trend saat ini yang menunjukan begitu buruknya kinerja anggota DPRD di berbagai daerah dan sekaligus penghianatan terhadap amanat rakyat.
Berdasarkan fenomena di atas, maka tuntutan terhadap perbaikan dan peningkatan kinerja anggota DPRD ke depan merupakan agenda mendesak yang tidak dapat ditawar-tawar lagi. Apa itu kinerja? secara teoritik kinerja adalah hasil pencapaian atau suatu prestasi kerja secara kualitas dan kuantitas yang dilaksanakan oleh kelompok dan perorangan dengan saling pengertian dan pertimbangan bersama yang berpedoman pada suatu standar kerja.
Dalam bahasa Inggris istilah kinerja adalah performance, yang memiliki satu entry yaitu thing done (sesuatu hasil yang dikerjakan). Adapun para ahli memberikan definisi kinerja sebagai berikut : Performance adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggungjawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Agar pengukurankinerjaterlaksanadenganbaik, maka lembaga terkait harusMembuatkomitmenuntukmengukurkinerjadanmemulainyasegera; Perlakukanpengukurankinerjasebagaisuatu proses yang berkelanjutan (on going process); Sesuaikan proses pengukurankinerjadenganorganisasi.
Tanpa adanya indikator kinerja, sulit untuk menilai kinerja (keberhasilan/ketidak berhasilan) organisasi. Indikator ini terdiri dari indikator masukan (inputs), keluaran (outputs), hasil (outcomes), manfaat (benefit) dan dampak (impacts).
Indikator masukan (inputs) adalah segala sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dapat berjalan untuk menghasilkan keluaran. Indikator ini dapat berupa dana, sumber daya manusia, informasi, kebijakan/peraturan perundang-undangan dan sebagainya.
Indikator keluaran (outputs) adalah sesuatu yang diharapkan langsung dicapai dari suatu kegiatan yang dapat berupa fisik dan atau non fisik.
Indikator hasil (outcomes) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah (efek langsung).
Indikator manfaat (benefit) adalah sesuatu yang terkait dengan tujuan akhir dari pelaksanaan kegiatan.
Indikator dampak (impacts) adalah pengaruh yang ditimbulkan baik positif maupun negatif pada setiap tingkatan indikator berdasarkan asumsi yang telah ditetapkan.
Berkaitan dengan masalah kinerja anggota DPRD yang merupakan term dalam pembahasan ini, menurut para ahli bahwa terdapat tiga variasi tipe anggota dewan:
Pertama, anggota dewan sebagai mandataris rakyat, artinya anggota dewan tersebut benar-benar mewakili rakyat. Ini selaras dengan konsep bahwa kedaulatan ada di tangan rakyat dan sepenuhnya dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Konsep ideal ini merupakan tanggungjawab legislatif yang menangung konsekuensi sebagai lembaga yang memang bertugas untuk itu.
Kedua, anggota dewan sebagai wali rakyat, karena mereka merasa sebagai wali mereka merasa tidak perlu meminta pandangan dari dan berkonsultasi dengan rakyat. Apapun yang mereka ambil dikonotasikan oleh mereka, pasti identik dengan sikap dan tindakan rakyat. Dalam wacana demokrasi pemikiran semacam ini sebetulnya berseberangan dengan semangat kedaulatan rakyat. Pada konotasi ini terlihat bahwa anggota dewan mengidentikkan dirinya sebagai wali yang berwenang atas pihak yang mewalikannya. Ada pemahaman yang terbalik di mana seharusnya rakyat menjadi pihak yang berdaulat tapi kemudian menjadi anggota dewan yang seolah berdaulat.
Ketiga, anggota dewan sebagai wakil partisan, di mana anggota ini lebih loyal pada partai atau praksi yang menaunginya. Di sini terlihat bagaimana pengaruh fraksi atau partai ternyata menjadi pertimbangan determinan bagi anggota dewan. Maka sebagai konsekuensinya, fraksi atau partai lebih menjadi “tuan” ketimbang rakyat. Padahal, rakyat-lah yang sebenarnya berposisi sebagai “tuan”.
Analisis para ahli bahwa persoalan tipikal pemerintahan presidensial akhirnya memposisikan anggota dewan menjadi kurang powerful. Sementara posisi riil anggota dewan berjarak dari rakyat sekaligus dari pemerintah. Hal ini merupakan kemandegan komunikasi politik. Bahkan bangsa ini seakan-akan mengisolasi rakyat dari realitas politik.
Posisi pemerintah dan anggota dewan belum mencirikan “kemitrasejajaran” secara proposional dan profesional yang sifatnya fungsional. Kalau selama ini terkesan adanya “kebersamaan” antara anggota dewan dengan pihak eksekutif, maka tendensinya lebih disebabkan oleh kepentingan “profit” kedua belah pihak. Entah dari segi ekonomi, sosial maupun dari dimensi politik. Maka dari itu, sebenarnya anggota dewan berjarak dengan pemerintah dalam hal memformulasikan dan memperjuangkan kepentingan rakyat. Sedangkan dengan rakyat, anggota dewan juga berjarak. Sehingga keberpihakan serta komitmen anggota dewan terhadap aspirasi dan kepentingan rakyat menjadi patut dipertanyakan, kalau tidak boleh diragukan. Bagaimana misalnya, nasib rakyat kecil lebih banyak tersisih dalam menikmati hasil-hasil pembangunan, sementara keberpihakan dewan berjarak dengan rakyat.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa kinerja anggota DPRD akan kembali kepada persoalan kualitas setiap anggota dewan yang ada. Baik itu soal kualitas moral dan komitmen kerakyatannya, kemapanan secara ekonomi yang akan menghindari dari pencarian nafkah di lembaga legislatif, atau kemapanan secara sosial.
Kendati secara perorangan, banyak angggota dewan yang dirasa cukup vokal atau krtisis-konstruktif dalam memperjuangkan kepentingan rakyat, ini terlihat di tingkat Pusat (DPR). Sementara keberanian perorangan anggota dewan di daerah, khususnya di DPRD kabupaten/kota sulit sekali untuk dilacak. Kalau memang benar tingkat kritis anggota dewan di daerah ada, tampaknya banyak sekali kendala sekaligus tantangan terwujudnya anggota dewan yang berkualitas, baik secara perorangan, maupun secara kolektif kelembagaan.
Untuk itu, peningkatan derajat pendidikan bagi masing-masing anggota dewan, khususnya di DPRD adalah merupakan terobosan simpatik dan rasional, terlebih kini tengah giat-giatnya legislatif “bergandengan tangan” dengan kaum cendekiawan yang diposisikannya sebagai “konsultan” terhadap kinerja dan peningkatan pemberdayaan yang selama ini dicanangkan.
Pada tingkat kebebasan, sebenarnya anggota dewan memiliki peluang yang memadai untuk berekspresi dalam mengimplementasikan dirinya sebagai wakil rakyat. Ia memiliki hak dan kewajiban yang cukup memadai secara teori. Persoalannya justru terletak pada tingkat kecakapan dan keberanian mempergunakan hak-hak yang telah ada itu secara santun, rasional serta optimal.
Begitu juga dengan derajat keterampilan lobi sebagai prilaku politik tingkat tinggi yang dimiliki oleh setiap anggota dewan, dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat, melalui sandaran hak-hak yang dimilikinya serta melalui mekanisme yang berlaku, patut mendapat sorotan tajam. Sebab persoalan ini berkaitan erat dengan kematangan berpolitik dari masing-masing anggota dewan.
Pada gilirannya, persoalan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) anggota legislatif menempati posisi sentral dalam rangka peningkatan kinerja anggota DPRD khususnya. Sebab pada sisi lain ada keyakinan bahwa bagaimanapun bentuk sistem yang dijalankan oleh suatu pemerintahan, tidaklah begitu berpengaruh terhadap kinerja legislatif bilamana kualitas Sumber Daya Manusia setiap anggota dewan benar-benar dapat diandalkan.
Hasil analisis mengenai parameter atau indikator kualitas SDM di lembaga legislatif adalah amat ditentukan oleh derajat tingkat pendidikan, cara rekruitmen, kemampuan komunikasi personal, keterlibatan dan optimalisasi peran staf ahli, kemapanan anggaran, basis profesional, serta basis massa.
Pertama, tingkat pendidikan. Seperti sepintas telah disinggung di muka bahwa tingkat pendidikan bagaimanapun merupakan salah satu indikator kunci bagi terbentuknya kualitas SDM yang dikehendaki. Begitu pula dalam konteks DPRD. Bahkan konsep knowledge is power hingga kini masih diniscayakan kesahihannya. Artinya adalah, bahwa tingkat pendidikan akan berpengaruh terhadap kualitas berpikir dan kematangan mentalitas seseorang, sedangkan kualitas berpikir akan mempengaruhi kemampuan mengoptimalkan kesempatan atas tanggungjawab yang diembannya. Sehingga dengan begitu, relatif akan terwujud kesantunan dan kedewasaan di dalam menentukan segala tindakannya. Begitu juga dalam kemampuan mengoptimalkan kesempatan mempergunakan hak-hak dan kewajiban sebagai seorang anggota dewan dalam rangka memperjuangkan kepentingan masyarakat
Kedua, cara rekruitmen yang dilakukan terhadap calon anggota legislatif. Azas selektivitas yang bertumpu kepada nilai kualitas tampaknya merupakan keharusan yang tidak bisa ditawar. Tinggal persoalannya sejauh mana kualitas dan objektivitas dari proses seleksi yang dijalankan dapat berfungsi sebagaimana yang diharapkan. Benar, nepotisme dan sistem kekerabatan lainnya bukan merupakan sesuatu yang ditabukan selama produk yang dilahirkan oleh sistem itu menghasilkan kualitas secara profesional dan memang dapat dipertanggungjawabkan secara memadai. Akan tetapi mengandalkan sistem semacam itu, jelas amat tidak kondusif bagi peningkatan kualitas SDM yang diharapkan. Sebab masih terdapat alternatif dan cara-cara lain yang sifatnya lebih fair, obyektif dan terbuka. Seleksi secara ketat bagi para calon anggota dewan adalah merupakan salah satu pintu gerbang peningkatan kinerja legislatif itu sendiri. Dengan demikian, setiap calon akan merasakan beratnya perjuangan ketika hendak menjadi wakil rakyat. Ini sebenarnya rasional sekali
karena tugas dan tanggungjawab seorang anggota dewan memang tidak ringan dan tidak mudah.
Ketiga, kemampuan komunikasi personal. Dimensi ini cukup determinan, sebab seorang anggota dewan pada gilirannya dituntut untuk memperjuangkan aspirasi masyarakat yang heterogen. Untuk itu kemahiran komunikasi personal yang dibutuhkan dalam tingkat lobi amat penting. Bahkan tidak jarang sebuah perjuangan demi terwujudnya keinginan masyarakat akan lebih mudah berhasil melalui komunikasi personal di lingkungan pemerintah, yang mana orang-orang ini memang berada dalam lingkungan dan memiliki pengaruh di dalam sebuah proses pengambilan keputusan.
Keempat, keterlibatan dan optimalisasi peran staf ahli. Tuntutan profesionalisme serta kebutuhan akan penyelenggaraan pemerintahan secara kualitatif, sudah menjadi bagian yang inheren di dalam mewujudkan cita-cita berdirinya sebuah negara. Begitu juga dengan cita-cita Proklamasi 17 Agustus 1945, yakni: “... melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. Dalam pengertian yang lebih luas berarti DPR(D) yang merupakan bagian integral dari totalitas sistem pemerintahan, memiliki tanggungjawab untuk mendorong terselenggaranya cita-cita Proklamasi tersebut. Adapun salah satu caranya adalah dengan melibatkan peran staf ahli di dalam proses-proses memperjuangkan kepentingan rakyat. Karena social demand memang perlu untuk dirangkum dan diformulasikan secara akurat dengan tetap memperhatikan pertimbangan fleksibilitas dan akomodasi serta tentu dengan memperhatikan azas prioritas dari beragam kepentingan masyarakat yang hendak diperjuangkan untuk kemudian diwujudkan di dataran realita. Secara demikian, peran staf ahli, entah untuk bidang ekonomi, sosial, politik, budaya, serta keamanan untuk menjaga integritas nasional, menjadi semakin penting sehingga kiprah dan tugas-tugas DPR(D) dapat relatif menjadi lebih mudah digarap.
Kelima, kemapanan anggaran dalam menunjang pelaksanaan tugas dan tanggungjawab DPR(D). Kemandirian untuk ini sebenarnya belum terwujud sama sekali, sehingga ketergantungan DPR(D) terhadap anggaran pemerintah (dalam hal ini eksekutif) masih terasa sekali ada. Dengan kenyataan seperti ini maka terlihat bahwa gerak DPR(D) dalam memperjuangkan kepentingan masyarakat sedikit banyak akan mengalami keterhambatan. Dan pada sektor inilah banyak para ahli melihat adanya kekuatiran DPR(D) menjadi subordinat dari manajemen eksekutif. Secara teoritis, kenyataan ini amat tidak kondusif bagi terselenggaranya sistem pemerintahan yang demokratis.
Keenam, basis profesional. Seorang anggota dewan apabila dihubungkan dengan upaya peningkatan kinerja DPR(D), maka basis profesional menjadi bagian yang harus turut diperhatikan dan diperhitungkan. Sehingga modal seorang anggota Dewan memiliki pijakan yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan, baik secara profesi, ekonomi maupun secara sosial. Sehingga, kiprah seorang anggota dewan dapat menjadi lebih berbobot lagi.
Ketujuh, basis massa, yang merupakan alasan kuat bagi seseorang untuk dapat menjadi anggota dewan, karena memang senyatanya, figur yang berbasis massa dapat lebih mudah menjadi wakil bagi masyarakat, khususnya bagi massanya. Dengan demikian, komunikasi dua arah (dialogis) antara seorang anggota dewan dengan massanya dapat lebih mudah terjalin. Komunikasi antara wakil rakyat dengan rakyatnya, relatif lebih mudah dibentuk.
Namun demikian, sebenarnya yang paling sah memberikan penilaian terhadap kinerja dan kualitas anggota dewan, secara konsep kedaulatan, adalah rakyat. Untuk itulah rakyat dituntut untuk menjadi pemilih yang cerdas, sehingga dalam pilihannya mampu menghasilkan anggota dewan yang berkualitas.
Aminn..
Semoga bermanfaat.
Labels:
Demos Cratos
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment