BANYURESMI,(GE).-
"Cerita dalam cerpen tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan menggunakan bahasa melayu yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Bahasa adalah harga diri bangsa, tidak digunakannya bahasa Indonesia yang baku dalam materi pembelajaran tersebut sama halnya dengan merendahkan harga diri bangsa,"
Demikian alasan pertama surat permohonan penarikan buku pelajaran Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP, yang dilayangkan Sekretaris PGRI Ranting 2 Banyuresmi, Ma’mun Gunawan, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, tertanggal 31 Agustus 2013.
Lebih lanjut Ma’mun Gunawan yang juga Sekretaris DPD KNPI Kab. Garut, menjelaskan, alasan kedua yaitu terdapat beberapa kata yang tidak dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, seperti tercenung (hal. 221), ngosel (hal. 224), mengangsut, mengingsut (hal. 225).
Kemudian alasan ketiga yakni pada halaman 225 terdapat bagian cerita yang tidak bisa ditolerir untuk menjadi materi pembelajaran siswa. Pertama, terdapat kosakata yang tidak tepat penggunaannya bahkan merendahkan derajat manusia, seperti melenguh (hal. 225). Melenguh biasa digunakan untuk suara kerbau, tetapi dalam buku ini dipersonifikasikan sebagai suara seorang polisi desa. Kedua, terdapat kalimat dialog yang menggunakan kata-kata tidak patut dan tidak pantas untuk dibaca oleh siswa, seperti “Bangsat! Kurang ajar! Sambar gledek lu!”.
Di samping karena bahasa tersebut kasar, lanjutnya, juga akan terbangun persepsi pada siswa bahwa kata-kata tersebut merupakan bahasa Indonesia yang santun karena termuat dalam buku pelajaran bahasa Indonesia dan diucapkan oleh seorang polisi desa. Ketiga, terdapat kalimat ancaman yang diucapkan oleh seorang polisi desa, seolah-olah mencerminkan aparatur khususnya polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat, dalam buku tersebut dipersonifikasi sebagai tokoh yang memiliki karakter mudah marah, gampang mengancam, suka menghardik dan tidak mau menerima pengaduan warga. Keempat, terdapat kata “lubang pantat” dan “pantat”. Seolah-olah tidak ada lagi kata yang lebih sopan untuk menggambarkan suatu ekspresi atau kejadian.
“Berdasarkan hal tersebut, materi dalam buku itu secara jelas bertentangan sekali dengan nilai-nilai moralitas bangsa maupun agama. Pada saat yang sama, titik tekan kurikulum 2013 adalah berupaya membangun pola pikir dan karakter siswa dengan karakter kebangsaan yang digali dari nilai-nilai moralitas agama dan budi pekerti,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, khususnya Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, untuk sesegera mungkin menarik peredaran buku Bahasa Indonesia - Wahana Pengetahuan Kelas 7 dari seluruh SMP baik negeri maupun sawsta yang saat ini sedang dijadikan sebagai percontohan implementasi kurikulum 2013. (Firman)***
"Cerita dalam cerpen tidak menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar, melainkan menggunakan bahasa melayu yang tidak sesuai dengan ejaan yang disempurnakan. Bahasa adalah harga diri bangsa, tidak digunakannya bahasa Indonesia yang baku dalam materi pembelajaran tersebut sama halnya dengan merendahkan harga diri bangsa,"
Demikian alasan pertama surat permohonan penarikan buku pelajaran Bahasa Indonesia Kelas 7 SMP, yang dilayangkan Sekretaris PGRI Ranting 2 Banyuresmi, Ma’mun Gunawan, kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Kepala Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Barat, dan Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, tertanggal 31 Agustus 2013.
Lebih lanjut Ma’mun Gunawan yang juga Sekretaris DPD KNPI Kab. Garut, menjelaskan, alasan kedua yaitu terdapat beberapa kata yang tidak dikenal dalam perbendaharaan bahasa Indonesia, seperti tercenung (hal. 221), ngosel (hal. 224), mengangsut, mengingsut (hal. 225).
Kemudian alasan ketiga yakni pada halaman 225 terdapat bagian cerita yang tidak bisa ditolerir untuk menjadi materi pembelajaran siswa. Pertama, terdapat kosakata yang tidak tepat penggunaannya bahkan merendahkan derajat manusia, seperti melenguh (hal. 225). Melenguh biasa digunakan untuk suara kerbau, tetapi dalam buku ini dipersonifikasikan sebagai suara seorang polisi desa. Kedua, terdapat kalimat dialog yang menggunakan kata-kata tidak patut dan tidak pantas untuk dibaca oleh siswa, seperti “Bangsat! Kurang ajar! Sambar gledek lu!”.
Di samping karena bahasa tersebut kasar, lanjutnya, juga akan terbangun persepsi pada siswa bahwa kata-kata tersebut merupakan bahasa Indonesia yang santun karena termuat dalam buku pelajaran bahasa Indonesia dan diucapkan oleh seorang polisi desa. Ketiga, terdapat kalimat ancaman yang diucapkan oleh seorang polisi desa, seolah-olah mencerminkan aparatur khususnya polisi yang seharusnya mengayomi masyarakat, dalam buku tersebut dipersonifikasi sebagai tokoh yang memiliki karakter mudah marah, gampang mengancam, suka menghardik dan tidak mau menerima pengaduan warga. Keempat, terdapat kata “lubang pantat” dan “pantat”. Seolah-olah tidak ada lagi kata yang lebih sopan untuk menggambarkan suatu ekspresi atau kejadian.
“Berdasarkan hal tersebut, materi dalam buku itu secara jelas bertentangan sekali dengan nilai-nilai moralitas bangsa maupun agama. Pada saat yang sama, titik tekan kurikulum 2013 adalah berupaya membangun pola pikir dan karakter siswa dengan karakter kebangsaan yang digali dari nilai-nilai moralitas agama dan budi pekerti,” katanya.
Oleh karena itu, pihaknya meminta kepada Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, khususnya Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Garut, untuk sesegera mungkin menarik peredaran buku Bahasa Indonesia - Wahana Pengetahuan Kelas 7 dari seluruh SMP baik negeri maupun sawsta yang saat ini sedang dijadikan sebagai percontohan implementasi kurikulum 2013. (Firman)***

0 comments:
Post a Comment