Pertama: Tawadhu’ yang terpuji
Yaitu tawadhu’nva seorang hamba ketika melaksanakan perintah Alloh عزّوجلّ dan meninggalkan larangan-Nya. Karena jiwa ini secara tabiat akan mencari kesenangan dan rasa lapang serta tidak ingm terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan lari dari peribadatan dan tetap dalam kesenangannya. Maka apabila seorang hamba mampu menundukan dirinya dengan melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, sungguh ia telah tawadhu’ dalam peribadatan.
Kedua: Tawadhu’ yang tercela
Yaitu tawadhu’nya seseorang kepada orang yang mempunyai pangkat dunia karena berharap mendapat bagian dunia darinya.
Orang yang memiliki akal sehat dan selamat tentunya ia akan berusaha meninggalkan tawadhu’ tercela ini dan akan berusaha berhias dengan sifat tawadhu’ yang terpuji.
TINGKATAN TAWADHU’
Pertama: Tawadhu’ di dalam agama
Yaitu patuh dan mengerjakan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad secara pasrah, runduk dan taat. Hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan tiga perkara;
1. Tidak mempertentangkan ajaran yang dibawa oleh Nabi dengan akal, analogi, perasaan, atau siasat.
2. Tidak menuduh bahwa dalil-dalil dalam agama ini adalah cacat dan jelek serta berprasangka bahwa dalil-dalil agama ada yang kurang, atau yang lainnya lebih utama. Barangsiapa yang terlintas dalam pikirannya hal seperti ini, maka salahkanlah pemahamannya.
3. Tidak menyelisihi nash dan dalil yang telah tetap.
Kedua: Menerima kebenaran dari orang yang dicintai atau yang dibenci
Tidak termasuk sikap tawadhu’ adalah menolak kebenaran dikarenakan ia berasal dari musuh.
Ketiga: Menjunjung al-haq
Yaitu menjadikan al-haq dan perintah sebagai dasar perbuatan dan menjalankan ibadah kepada Alloh semata-mata karena perintah dari Alloh dan bukan karena kebiasaan atau hawa nafsu.
TAWADHU’ DAN MENGHINAKAN DIRI
Kita sering mendengar istilah tawadhu’ dan menghinakan diri. Keduanya sangat berbeda. Sifat tawadhu’ muncul karena atas dasar ilmu dan pengetahuannya kepada Alloh dan karena pengagungan dan kecintaan kepadaNya serta kesadaran mengintropeksi terhadap aib pribadi.
Semua hal tersebut melahirkan sifat tawadhu’ dalam dirinya. Hatinya tunduk kepada Alloh , patuh dan berserah diri serta mempunyai sifat kasih sayang kepada manusia. Ia melihat tidak mempunyai keutamaan atas orang lain dan ti-dak merasa benar sendiri atas orang lain. Akhlak semacam ini hanyalah pemberian Alloh kepada hamba-Nya yang dicintai dan yang dimuliakan serta dekat kepadaNya.
Adapun menghinakan diri adalah merendahkan dan menghinakan dirinya kepada orang lain untuk meraih bagian dan kelezatan syahwatnya. Seperti perendahan diri karyawan karena ingin mendapat sesuatu yang diinginkan dari atasannya, kepatuhan orang yang diajak maksiat kepada orang yang mengajaknya, atau kepatuhan orang yang ingin meraih bagian dunia kepada orang yang ia harapkan.
Semua ini adalah bentuk penghinaan diri dan bukan tawadhu’. Alloh hanya mencintai orang-orang yang tawadhu’ dan membenci perendahan dan penghinaan diri.
Imam Ahmad bin Abdurrahman al-Maqdisi mengatakan: “Sikap pertengahan adalah dengan tawadhu’ tanpa merendahkan diri, dan ini adalah terpuji. Sikap tawadhu’ yang terpuji adalah dengan berbuat adil, yaitu memberikan kepada setiap orang yang mempunyai kedudukan haknya.”
KIAT MENGGAPAI TAWADHU’
1. Berfikirlah dari apa kita diciptakan Jika seorang muslim bisa mengukur diri, dan menyadari siapa dirinya, dia akan menilai bahwa dirinya adalah insan yang rendah dan hina. Karena manusia bila dilihat dari asal penciptaan berasal dari setetes mani yang keluar dari saluran air kencing, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging dan akhirnya menjadi seorang insan.
Berawal dari tidak bisa mendengar, tidak melihat dan lemah kemudian menjadi insan yang sempurna penciptaannya. Alloh berfirman;
“Dari apakah Alloh menciptakannya? dari setetes mani, Alloh menciptakannya lalu menentukannya, kemudian Dia memudahkan jalannya.” (QS. ‘Abasa [80]: 18-20)
Alloh juga berfirman;
“Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.” (QS. al-Insan [76]: 2)
Apabila kondisi manusia seperti ini, mengapa ia sombong dan tidak tawadhu’?!
Imam Ibnu Hibban Asy-Sayfi’i mengatakan: “Bagaimana mungkin seseorang tidak tawadhu’ padahal ia diciptakan dari setetes mani yang hina dan akhir hidupnya ia akan kembali menjadi bangkai yang menjijikkan serta kehidupannya di dunia ia membawa kotoran?”
2. Kenalilah diri Anda
Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. al-Isro’ [17]: 37)
Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithi berkata: “Wahai orang yang sombong, engkau adalah orang yang lemah, hina dan terbatas di dunia ini. Bumi yang engkau berpijak di atasnya, engkau tidak bisa berbuat apapun walaupun engkau injak dengan sekuat tenaga. Jangan angkuh, jangan berjalan di muka bumi ini dengan sombong.”
POTRET TAWADHU’ RASULULLAH
Barangsiapa yang ingin membersihkan hatinya dari sifat sombong dan ingin berhias dengan tawadhu’, maka hendaklah ia melihat suri tauladan kaum muslimin yakni Rosululloh. Sungguh Alloh M telah memuji dan menyempurnakan akhlaknya.
Alloh berfirman:
“Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung.” (QS. al-Qolam [68]: 4)
Di antara sifat tawadhu’ Rosululloh adalah:
Rosululloh bersabda:
“Janganlah kalian berlebihan kepadaku sebagaimana orang-orang Nasrani yang berlebihan kepada Isa bin Maryam. Aku hanyalah seorang hamba. Katakanlah; hamba Alloh dan Rosul-Nya.” (HR. Bukhori: 3445)
Aisyah berkata: “Rosululloh sangat perhatian dalam membantu urusan keluarganya. Apabila telah tiba waktu sholat, beliau bergegas pergi menuju sholat.” (HR. Bukhori: 676)
Rosululloh bersabda: “Aku makan sebagaimana makannya seorang hamba, dan aku duduk sebagaimana duduknya seorang hamba.”
Rosululloh melewati sekumpulan anak kecil, kemudian beliau mengucapkan salam kepada mereka. (HR.Bukhori: 6247, Muslim: 2168)
Rosululloh menjahit sandalnya, menambal bajunya, memeras susu ternak untuk keluarganya dan memberi makan unta. Beliau makan bersama pembantunya dan mengundang orang-orang miskin. Berjalan bersama para janda dan anak-anak yatim untuk memenuhi kebutuhan mereka. Beliau memulai salam lebih dahulu jika bertemu orang lain dan beliau memenuhi undangan orang yang mengundangnya sekalipun dalam sesuatu undangan yang ringan.
Abu Sa’id al-Khudri berkata: “Cintailah orang-orang yang miskin karena aku mendengar Rosululloh bersabda dalam do’anya: “Ya Alloh, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, wafatkanlah aku dalam keadaaan miskin dan masukkanlah aku bersama orang-orang yang miskin pada hari kiamat.”
Al-Hafizh Ibnu Rojab mengatakan: “Yang dimaksud dengan miskin dalam hadits ini adalah orang yang di dalam hatinya ada rasa tenang, tunduk dan khusyu’ kepada Alloh
Demikian indahnya sifat tawadhu’. Ya Alloh, tunjukilah kami agar bisa berhias dengan akhlak yang mulia dan jauhkanlah kami dari sifat yang tercela. Amiin. Alloh A’lam
0 comments:
Post a Comment