Insun Nitip Tajuk lan Fakir Miskin
Written By Garut Express on Wednesday, February 20, 2013 | 7:22 PM
Insun Nitip Tajuk lan Fakir Miskin
MINGGU lalu kedatangan kawan dari Kota Cirebon. Karena sudah lama tak bertemu, nyaris seharian kami bercengkrama di warung kopi. Banyak yang dibicarakan, mulai soal keluarga hingga soal pemerintahan. Kebetulan, di kota udang itu akan digelar pesta demokrasi pemilihan Walikota dan Wakil Walikota Cirebon, yang waktunya bersamaan dengan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat.
Kata kawan itu, di Cirebon cukup unik. Sekalipun Kabupaten Garut dapat dikatakan barometernya soal perpolitikan di Jawa Barat, tetapi justru kota Cirebon menggambarkan pragmatisnya politik di Jawa Barat itu sendiri. Sebut saja, jika Cirebon mendapat julukan bumi sunan atau tempat lahirnya para sunan, namun dalam politik tak ada satu pun partai politik berhaluan islam yang mendapatkan kursi di DPRD kota tersebut. Itulah hal yang menariknya disana, sekalipun daerah khas agamis tetapi kekuatan Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang notabene sebagai partai kekuatan islam, tetapi tak mampu menyabet kursi satu pun.
Mungkin itu yang disebut pragmatis oleh kawan dari Cirebon itu. Yah, masyarakat pemilih disana sudah pragmatis. Mungkin masyarakat disana sudah tidak mencampuradukan antara ketaatan beragama dengan partai politik, sekalipun partai politiknya berhaluan islam. Bagi mereka, politik merupakan kepentingan kekuasaan. Maka masyarakat pun sudah pandai memilih, mana yang lebih mudah mengakomodir kepentingan mereka. Namun, tidak serta merta pula parpol yang berazaskan nasionalis sebagai pilihan utama. Sebab, di setiap pemilu kekuatan suara parpol memang selalu berubah-ubah. Disana cukup sulit menemukan kantong-kantong militan partai politik. Sistem demokrasi tak lebih dari sebuah pengelabuan politik, sehingga demokrasi layak ditukar dengan materi.
Beda dengan zaman kesunanan. Kekuasaan sepenuhnya untuk kesejahteraan rakyat. Sunan Gunung Jati, tentunya menjadi pelopor otonomi daerah dikala itu. Memisahkan diri dari Pajajaran termasuk Mataram, semata-mata agar upeti yang biasa disetorkan, dapat dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyatnya. Bahkan, dikala beliau berhenti sebagai penguasa, yang diamanatkan kepada penerusnya bukanlah keraton yang megah atau harta dan kekuasaanya, melainkan “Insun Nitip Tajuk lan Fakir Miskin” atau menitipkan mesjid dan fakir miskin.
Tentu, bertolak belakang dengan kondisi sekarang ini. mempertahankan kekuasaan demi kelompoknya merupakan sesuatu yang utama. Masyarakat dipinta suaranya sebagai bentuk dukungan, sementara giliran masyarakat sendiri sulit untuk meminta setelah kelompok itu mendapatkan kekuasaanya. Maka, berulangkali kawan itu mengutarakan, demokrasi wajib ditukar dengan materi. Sebab, amanat sunan yang mulia itu tak pernah ada yang memperdulikan lagi.
Sepertinya tak akan jauh berbeda dengan masyarakat Kabupaten Garut. Suara rakyat saat ini tak bisa ditebak. Bisa tidak memilih sama sekali atau terpaksa memilih, hanya sekedar bentuk partisipasi jangan sampai tidak taat demokrasi yang dipaksakan.***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment