![]() |
Oleh : Rohmat Aripin S. IP. M.Si. |
Pemimpin setara dengan seorang nahkoda kapal. Dengan adanya seorang pemimpin diharapkan “kapal” tersebut dapat berjalan sesuai dengan kompas atau arah yang telah ditentukan, hingga bisa sampai ke tujuan dengan selamat. Namun dalam konteks pemimpin negara dan pemerintahan di era masa kini, tak ubahnya ibarat berdagang (balantik) yang menjadikannya jabatan sebagai alat untuk bertransaksi demi menghimpun kekayaan atau numpang hidup dan bukan ikut menghidupkan (Sunda : milu hirup). Hingga tak jarang ketika seseorang memimpin sebuah pemerintahan berperilaku koruptif demi kepentingan pribadi dan kelompoknya.
Tak sedikit seorang pemimpin di negeri ini yang kerap bertekak pinggang dengan segala
keangkuhannya. Bicara merasa benar sendiri dan asal enak sendiri. Bersenang-senang di atas penderitaan rakyatnya yang lemah dan miskin dan lain sebagainya. Oleh karena itu dalam konteks agama (Islam), benar kata Nabi bahwa seseorang itu bisa menjadi angkuh karena 4 (empat) perkara, pertama dengan ilmunya, kedua dengan hartanya (kekayaannya), ketiga dengan tahtanya, dan ke empat dengan popularitasnya. Padahal pada hakikatnya, keangkuhan itu adalah kemiskinan yang tak disadari.
Harta kekayaan merupakan salah satu faktor penunjang yang sangat penting dalam kehidupan. Ingin pintar harus dengan harta. Begitu pula ingin sehat, harus dengan harta. Bahkan salah satu ibadah, seperti ibadah haji, pun perlu harta. Rasululloh menganjurkan agar umatnya menjadi orang kaya dan bukan menjadi orang miskin atau fakir, karena kefakiran bisa mendekatkan seseorang kepada kekafiran. Begitu pula dengan seorang pemimpin. Seorang pemimpin haruslah seorang yang “kaya raya”, termasuk dengan harta. Tujuannya agar ketika dia memimpin tidak “kokoro manggih mulud, puasa manggih lebaran” alias “mak-mak, mek-mek”. Hingga ketika menjadi pemimpin dia akan fokus pada kewajiban dan tanggung jawabnya “ngaheuyeuk dayeuh, ngolah nagara”. Dalam konteks kenegaraan Pemerintah sempat melakukan kebijakan menaikan gaji untuk profesi tertentu. Seperti hakim, jaksa dan polisi. Tujuannya agar mereka tercukupi kebutuhan hidupnya, hingga diharapkan tidak berperilaku koruptif. Namun kebijakan tersebut tak serta merta diamini semua pihak.
Selain harus kaya dengan harta, seorang pemimpin pun pertama harus kaya raya dengan dengan niat baik dan dedikasi. Tidak menjadikan kekuasaan atau jabatannya sebagai sarana untuk memperkaya diri atau kelompoknya. Niat menjadi seorang pemimpin benar-benar merupakan panggilan jiwa dan hati, hingga kelak akan menjadi ibadah yang penuh dengan sejuta manfaat dan bukan sejuta kemudorotan. Kedua harus kaya raya dengan tanggung jawab. Menyadari akan tanggung jawab yang ada di pundaknya, seorang pemimpin tidak akan memikirkan kepentingan pribadi atau keluarganya, namun akan mengutamakan kepentingan umum, karena kelak ada perhitungannya.
Ketiga harus kaya raya dengan kepekaan sosial. Dia mengerti apa kebutuhan dan kesulitan rakyatnya.Tidak berpangku tangan. Lebih menitik beratkan bukti dari pada janji. Mampu menjadi pembicara dan pendengar yang baik, serta menyerap semua aspirasi dalam bentuk kebijakan. Keempat, pemimpin harus kaya raya dengan gagasan kebijakan (policy) dan kreativitas inovatif, hingga rakyat akan bisa merasakan sebuah perbedaan dan suasana baru di era kepemimpinannya. Kelima harus kaya raya dengan jiwa melindungi dan keberpihakan kepada rakyat. Mampu menyelami apa kemauan rakyatnya seperti keinginan rakyat untuk hidup tenang. Dan kelima harus kaya raya dengan jiwa kenegarawanan. Jiwa seorang negarawan tidak suka dipuja dan dipuji, apalahi hingga berdebat dan mempertahankan jabatan yang dipegangnya apabila rakyat sudah tidak mempercayainya lagi.
Dan masih banyak lagi kekayan-kekayaan yang harus dimiliki seorang pemimpin yang tidak bisa penulis sebutkan dalam tulisan ini. Malah dalam filosofi Sunda, seorang imam(pemimpin) itu harus “jangkung” (tinggi), “kasep” (ganteng) dan “bodas” (putih). “Jangkung” maksudnya memiliki ilmu yang banyak atau tinggi. Kemudian “kasep” (ganteng), maksudnya bukan hanya “kasep” pisiknya, namun harus “kasep” perilakunya di masyarakat, hingga kelak akan menjadi suri teladan dan kata-katanya akan selalu diturut serta perilakunya ditiru, karena keteladanan adalah dekatnya kata dan perbuatan (Alfan Alfian). Sementara “bodas” (putih) yaitu bahwa Imam (pemimpin) mesti memiliki hati yang bersih untuk memimpin secara bersih pula.
Menjadi seorang pemimpin dalam konteks Islam, jelas tidak hanya memiliki jabatan dengan segala kewenangannya, dihormati orang-orang, memiliki berbagai fasilitas dan lain sebagainya, namun memiliki resiko yang cukup berat di dunia dan di akhirat. Pergeseran paradigma antara pemimpin di era Rasululloh dengan sekarang sudah sangat jauh sekali. Selama menjadi seorang pemimpin, Rasululloh tidak kaya dengan harta, namun kaya dengan ahklaq. Bahkan menurut salah satu keterangan, baju gamis Beliau (Rasululloh saw.) hanya ada 3 biji. Begitu pula para sahabatnya ketika mendapat mandat untuk memimpin negara (sekarang Presiden), maka mereka menyebutnya sebagai “musibah”. Sementara sekarang dianggap sebagai “barokah” atau durian runtuh.
Padahal sesungguhnya menjadi seorang pemimpin itu sangat berat, baik di dunia maupun di akhirat. Abu Hurairah ra. berkata bahwa Rasululloh saw. Bersabda “sesungguhnya, kamu akan berusaha untuk mendapatkan kepemimpinan dan kepemimpinan itu akan menjadi penyesalan di hari Kiamat”. (Hadist Bukhari). Artinya terdapat larangan untuk meminta atau berusaha untuk memiliki kekuasaan karena tidak memiliki kelayakan dan kemampuan untuk menjalankan kewajibannya. Namun dalam konteks kekinian untuk menjadi seorang pemimpin justru harus mengeluarkan dahulu modal, hingga ketika dia memegang jabatan, pusat perhatiannya dibagi dua, selain memimpin juga memikirkan cara pengembalian modal berikut dengan bunganya. Hingga jika seorang pemimpin menolak meletakan jabatan adalah cukup realistis, mengingat ia ditengarai masih punya sangkutan utang yang belum terlunasi.
Tak sedikit pemimpin (penguasa) yang menolak untuk mengembalikan jabatan kepada si Empunya yaitu rakyat pemilik kekuatan dan kedaulatan demokrasinya, meski sejumlah pihak seperti para tokoh nasional, para ulama dan para petinggi negeri telah menganjurkannya untuk mundur. Malah melalui bantuan pihak ketiga, dia memilih mengajak “berkelahi” di Pengadilan dan lapor polisi. Hingga menjadikannya rakyat sebagai rival. Sungguh pemandangan yang tidak elok dan sangat tidak patut untuk diteladani. Padahal “demokrasi tidak mengenal timur atau barat, demokrasi adalah keinginan rakyat, karena itu saya tidak mengakui adanya berbagai bentuk demokrasi, yang ada hanya demokrasi itu sendiri (Shirin Ebadi).
Oleh karena itu, secara filosofi bahwa seorang pemimpin itu wajib “kaya raya” (kudu beunghar). Terutama kaya raya secara spiritual seperti berjiwa negarawan yang tidak terlalu banyak terkontaminasi para pembisik yang sarat dengan sejumlah kepentingan. Selain itu mesti memiliki kecerdasan intelektual, kecerdasan emosional kecerdasan pisik dan kecerdasan spiritual, hingga menjadikan dirinya memiliki kecerdasan paripurna diantara sekian juta rakyat yang dipimpinnya. Namun seberat-beratnya menjadi pemimpin adalah lebih berat menjadi pemimpin untuk diri kita sendiri. Semoga kita diberi pemimpin-pemimpin “kaya raya” yang saleh dan merakyat. Amin!. Penulis Pemerhati Sosial, Politik, Ekonomi, Tinggal di Garut, Alumni Pasca Sarjana Universitas Garut, Wartawan Garut Express.
0 comments:
Post a Comment