Menunggu yang Galau
Written By Garut Express on Thursday, December 20, 2012 | 6:26 PM
Menunggu yang Galau..!!
HATI cukup lega, ketika menyempatkan jalan-jalan ke pedesaan. Di pematang sawah, sejumlah petani terlihat menikmati mencangkul. Melewati perkebunan pun demikian, para buruh pemetik teh nampak riang menyambut sore pertanda usai kerja mereka.
Melewati hari-hari dipelosok desa, masyarakat tak pernah peduli dengan kondisi hiruk-pikuknya kota. Apalagi di wilayah pemerintahan Kabupaten Garut, seakan tak pernah berhenti aktifitas orang yang melakukan demontrasi. Tentunya bertolak belakang dengan kondisi masyarakat di pedesaan, bagi mereka mengais rejeki untuk kehidupan keluarganya, lebih bermanfaat dibanding harus ikut campur dalam pergolakan politik di pemerintahan.
Bagi mereka, bukan tak mengetahui soal bupatinya yang kawin lagi, karena semua televisi nyaris mempertontonkan kejadian peristiwa itu setiap waktu. Namun apa manfaatnya, bagi anak-anak mereka harus disuguhkan dengan tontonan yang dianggapnya dapat mengganggu psikologi mereka. “Manusia tergantung amal-amalannya. Karya yang baik, menghasilkan yang baik pula. Demikian pula, karya yang buruk akan menghasilkan yang buruk pula”. Itulah yang membuat mereka tak terpengaruh dengan kondisi yang bulan-bulan ini menyelimuti kota dodol itu.
Berbeda sekali dengan para pemangku kebijakan, khususnya pansus DPRD Garut yang diberikan emban untuk menelitik perilaku penghuni pendopo sekarang ini. Boleh dibilang mereka cukup galau, karena harus menyampaikan hasil investigasinya “nyukcruk” sepak terjang Bupati Garut yang telah menghebohkan jagat raya. Tentunya serba salah. Jika kesimpulan pansus menguntungkan bupati, masyarakat yang getol datang ke gedung dewan agar bupati lengser, tentu tidak akan terima. Halnya, jika memenuhi tuntutan masyarakat yang kontra bupati, khawatir berdampak buruk pula.
Ketika sudah masuk ranah politik, wajar persoalannya menjadi abu-abu. Wakil rakyat akan disebut kongkalikong, apabila memutuskan tidak bersalah apa yang dilakukan bupati. Kalau putusannya memberhentikan bupati pun, bisa jadi dipandang karena kepentingan untuk menjatuhkan bupati. Memang dilematis, tetapi tak ada cerita yang tak berakhir. Konseksewnsinya, pansus harus mengambil sikap dan menyampaikannya dalam paripurna.
Bagi masyarakat di pedesaan tidak banyak meminta. Kesadaran hati untuk menerima kesalahan diri sendiri dan menerima kesalahan orang lain, jauh lebih indah dibanding yang buruk semakin diperburuk. Memang proses harus tetap berjalan dan resiko yang bersalah harus menerima ganjarannya.***
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
0 comments:
Post a Comment