Home » , » Stop! Menjadi Bangsa Pengemis!

Stop! Menjadi Bangsa Pengemis!

Written By Garut Express on Monday, December 3, 2012 | 2:04 AM

Oleh : Rohmat Aripin S.IP.M.Si.
Stop! Menjadi Bangsa Pengemis!

    Hubungan dua negara (bilateral) antara Indonesia dan Malaysia dari waktu ke waktu memang kerap dihinggapi oleh hal-hal yang kurang harmonis. Berbagai macam persoalan sering menjadi penyulut tak harmonisnya hubungan kedua negara seperti masalah pencaplokan wilayah ambalat, klaim Sipadan dan Ligitan, pengklaiman seni dan budaya, sengketa perbatasan dan lain sebagainya. Selain itu yang paling sering menjadi sumber konflik adalah masalah TKI, maklum banyak TKI kita yang mengadu nasib di negeri jiran, bahkan jumlahnya hingga ratusan ribu dan tak semuanya berbekal berpendidikan cukup. Hal ini membuat sejumlah oknum orang Malaysia menganggap TKI kita laksana barang, hingga baru-baru ini di Malaysia terdapat iklan obral TKI (TKI On Sale).

    Tentu saja hal ini membuat tersinggung berbagai pihak di Indonesia. Anjuran sejumlah pihak kepada Pemerintah untuk bertindak tegas, bahkan hingga anjuran untuk memutuskan hubungan diplomatik sempat menguat ke permukaan. Namun ya! begitulah, karena negara kita masih banyak ketergantungan kepada negeri jiran tersebut, maka pemerintah kita cenderung bernuansa menutup mata. Memang secara historis, sejak Orde Lama “pacengkadan” antara Indonesia dan Malaysia telah ada. Kita mungkin sempat mendengar istilah konfrontasi di era pemerintahan Presiden Soekarno yang terkenal dengan ganyang Malaysia-nya. Semuanya demi mengangkat harga diri bangsa dan negara.

    Indonesia adalah salah satu negara kaya di kawasan Asia Tenggara. Kaya dengan sumber daya alam dan sumber daya manusia. Namun sayang kekayaan tersebut tak menjamin rakyatnya menjadi sejahtera. Para pemimpin Indonesia sedang terjangkiti sejumlah penyakit dalam pemerintahannya. Para aparat birokrasinya banyak yang kurang peduli terhadap nasib rakyatnya. Masifnya korupsi dan ketidakjujuran mengakibatkan rakyatnya banyak yang menjadi pengangguran dan miskin. Oleh karena itu tak heran jika orang Indonesia kerap berhamburan dan bertebaran menjadi “buruh” di sejumlah negara, seperti Singapura, Thailand dan Malaysia.

    Menjadi pekerja di luar negeri tanpa perbekalan keterampilan, bukan tanpa resiko, apalagi hanya bermodalkan tekad. Alih-alih uang yang diharapkan untuk diperoleh, justru malah siksaan dan penghinaaan yang didapat. Tak sedikit perilaku induk semang di negeri jiran yang telah tega berbuat kejam kepada para TKI kita, seperti menyiram tubuh dengan air mendidih, menyetrika tubuh, memotong lidah, memperkosa, mencungkil mata hingga buta, bahkan hingga membunuh. Semua kejadian ini perlu perhatian khusus dari Pemerintah.

     Para TKI ibarat anak orang kaya, namun tak bisa menikmati kekayaannya, bahkan hingga bagaikan “beurit paeh dina leuit”. Mengadu nasib dan meminta makan di negeri tetangga, yang wilayah dan kekayaan alamnya tak seluas dan sebanyak negeri kita. Namun itulah fakta dan kenyataan hidup yang tidak bisa dibantah, bahwa kemajuan dan tata kelola negeri jiran memang jauh lebih baik dari pada negeri kita, hingga mereka bisa berdiri diatas kaki sendiri (berjibaku). Hidup ketergantungan merupakan sesuatu yang sangat tidak nyaman. Ketergantungan akan mengakibatkan kita dapat dengan mudah diperlakukan bagai kerbau dicocok hidung yang zonder kekuasaan, kecuali manut.

    Dalam teori French & Raven dikenal 5 (lima) jenis kekuasaan. Pertama kekuasaan penghargaan (reward power). Kedua kekuasaan referensi (reference power). Ketiga kekuasaan legitimasi (legitimate power). Keempat kekuasaan keahlian (expert power) dan kelima kekuasaan paksaan (coerciive power). Dalam tulisan ini penulis hanya sedikit menjelaskan poin yang pertama yang dikutif dari seorang ahli yaitu kekuasaan penghargaan (reward power). Kekuasaan penghargaan (reward power) yaitu yang bersumber dari kemampuan untuk menyediakan penghargaan atau hadiah bagi orang lain, seperti gaji, promosi atau penghargaan jasa. Semua orang akan nyaman berada di bawah kekuasaan ini karena mereka merasa telah tercukupi (Harbani Pasolong : 108).

    Kekuasaan penghargaan (reward power) inilah yang dimiliki oleh Malaysia terhadap bangsa Indonesia saat ini, dimana mereka mampu mempermainkan irama kehidupan atas para TKI kita di sana. Hingga Pemerintah kita pun nyaris tak bisa berkutik jika Malaysia berbuat yang aneh-aneh, bahkan hingga menghina dan mengobok-obok sekalipun. Karena apa? Yak karena pemasukan devisa dari negeri jiran terus mengalir ke kantong Pemerintah. Dari sekian perilaku tak menyenangkan Malaysia, apakah sudah ada tindakan tegas Pemerintah?. Tidak ada sama sekali. Malaysia telah mampu menjadi “dunungan” bagi sejumlah TKI kita

    Menciptakan lapangan kerja di negeri sendiri merupakan upaya mengangkat harga diri bangsa. Bangsa yang mandiri adalah bangsa yang mampu berswasembada untuk kepentingannya sendiri atau mampu  menghilangkan ketergantungan. Bangsa Indonesia adalah bangsa yang telah bertekad untuk melenyapkan penjajahan dan penindasan dimuka bumi, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut serta melaksanakan ketertiban dunia atas dasar kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan soial. Namun semua tekad tersebut baru berjalan secara konseptual. Kenyataannya kehidupan bangsa Indonesia masih berada di bawah bayang-bayang negara lain. UU No. 13 tahun 2003 tentang ketenagakerjaan pada prinsipnya belum mengakomodasi kepentingan para TKI di luar negeri.

    Oleh karena itu kita semua hendaknya tak usah heran jika selama belum mampu berdiri diatas kaki sendiri, maka selama itu pula kita akan terhina. Kejadian memilukan yang kerap menimpa para TKI kita di Malaysia khususnya dan negara-negara lain pada umumnya, pada hakikatnya bukanlah mutlak kesalahan mereka. Melainkan kesalahan para pemimpin di negeri kita yang belum mampu berswasembada, termasuk berswasembada lapangan kerja, hingga negeri kita kerap dipandang sebelah mata di kancah pergaulan dunia internasional.

Namun yang menjadi pertanyaan, bagaimana perasaan para penguasa yang ada di negeri kita, manakala terdapat rakyatnya yang dihina, disiksa, bahkan hingga dibunuh?. Sementara uang ratusan milyar, bahkan hingga triliunan menguap diantara para anggota DPR yang terhormat di Senayan. Dari pada uang ratusan milyar untuk membangun Wisma Atlet Palembang, Proyek Sport Center Hambalang dan menaikkan gaji pejabat korup, maka jauh lebih baik jika uang tersebut dipakai untuk jenis kegiatan atau program yang pro rakyat. Mengingat kemiskinan masih merajalela, angka anak putus sekolah masih tinggi dan biaya kesehatan masih tinggi pula.

Kemajuan dan kesombongan negeri jiran telah membuat bangsa Indonesia terhempas harga diri. Mau melawan, masih perlu dengan pekerjaan!. Jika tak melawan! Semakin diobok-obok harga diri. Jadi pemerintah kita kini benar-benar berada di persimpangan jalan yang cukup membingungkan dan serba sulit. Sulitnya menempuh birokrasi di Indonesia, membuat ribuan jumlah TKI masuk ke Malaysia secara illegal dan pada kenyataannya para TKI illegal tersebut bisa bekerja. Meskipin pada akhirnya jika terkena operasi ternyata didepotasi juga (Wibowo : 146).

Pasang surut hubungan bilateral Indonesia Malaysia selama ini telah menjadi fenomena yang dianggap biasa. Perlakuan buruk Malaysia atas para TKI kita bukanlah hal yang baru. Perlakuan buruk bangsa lain atas bangsa kita saat ini jelas bertentangan dengan tujuan negara sebagaimana tercantum dalam mukaddimah UUD 1945. Oleh karena itu wajib berhenti menjadi bangsa pengemis pekerjaan dengan jaminan harga diri bangsa dan negara. Stop! menjadi bangsa pengemis dengan cara berswasembada hingga kita menjadi bangsa yang terhormat dan memiliki peran signifikan dalam kancah dunia internasional. Penuli Pemerhati Masalah Sosial, Budaya, Politik dan Ekonomi, Alumni Pasca Sarjana Universitas Garut dan Wartawan Garut Express.
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Garut Express - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger