Oleh : Rohmat Aripin S.IP.M.Si.
Penampilan nyentrik orang-orang yang
memiliki popularitas kerap menjadi tiruan bagi orang-orang yang melihatnya,
meski hal itu belum tentu cocok bagi semua orang. Misalnya saja yang sempat
penulis ingat ketika era Orde Baru seorang pengusaha yang sangat dekat dengan
penguasa saat itu adalah Mohammad Hasan atau yang lebih akrab dengan panggilan
Bob Hasan. Dia memiliki tampilan nyentrik dalam penataan rambut yang terkesan
“cuek”. Jarang disisir apalagi hingga ditata dengan rapi ke salon. Namun hal
itu malah menjadikan ciri khas penampilan dirinya dalam keseharian.
Kemudian ada lagi ikon seorang
pengusaha yang sangat suka dengan penampilan “cuek”-nya yaitu Bob Sadino. Dia
sangat suka berpenampilan dengan selalu memakai busana bawahan celana pendek
dan atasannya dengan kemeja berlengan pendek dengan corak kotak-kotak kecil.
Hampir pada setiap pertemuan tidak resminya Bob Sadino selalu berpenampilan
seperti itu. Celana pendek dan kemeja lengan pendek bercorak kotak-kotak kecil
yang sama, hingga seolah-olah dia tak pernah ganti baju dan celana. Padahal beliau
memiliki puluhan setel pakaian tersebut.
Selain itu ada pula ikon orang
terkenal yang selalu berpenampilan khas lainnya. Mungkin kita mengenal nama Eep
Hidayat, mantan Bupati Subang. Eep sangat lengket dengan penampilan ikat
kepalanya. Dalam status sosial orang Sunda, mengenakan ikat kepala “barangbang
semplak” merupakan salah satu ciri seorang tokoh dalam masyarakat. Namun ketokohan
yang dimaksud lebih mengarah kepada unsur kesatriaan dan jiwa pemberani, yang
dalam bahasa Sunda dikenal dengan sebutan “jawara”.
Dalam konteks dunia politik kekinian
ada pula ikon seorang pemimpin berpenampilan khas dengan segala kesederhanaan
serta busana bercorak kotak-kotak. Siapa dia?. Tiada lain adalah Joko Widodo
atau Jokowi. Dalam setiap pertemuan menjelang dirinya mendaftar sebagai bakal
calon Gubernur DKI Jakarta dan setelah dirinya dinyatakan “lulus” oleh KPUD DKI
sebagai calon Gubernur, hingga melaksanakan kampanye, Jokowi selalu memakai
kemeja berlengan panjang bercorak kotak-kotak besar.
Karena kemeja berlengan panjang
bercorak kotak-kotak selalu dipakai oleh orang terkenal sekelas Jokowi, maka di
pasar-pasar pakaian di Jakarta, pakaian bercorak kotak-kotak tersebut laku
keras dan banyak diburu orang, hingga namanya pun menjadi kemeja “Jokowi”.
Anak-anak muda, remaja dan orang tua banyak yang memakai pakaian tersebut,
karena dianggap sebagai simbol kesederhanaan seorang calon pemimpin. Apalagi
Jokowi kerap mengenakan pakaian tersebut ketika masuk gang-gang sempit di
Jakarta, ketika kampanye.
Ternyata selain masyarakat yang
bangga dengan busana kotak-kotak tersebut, ada pula politisi satu pasangan
calon Gubernur dan Wakil Gubernur yang ikut nampang dengan busana bercorak
kotak-kotak tersebut. Hal ini mungkin diharapkan sedikit banyak secara
“spiritual politik” ada limpahan “berkah politik”, yaitu berupa kemenangan.
Busana bercorak kotak-kotak oleh politisi tertentu diharapkan dapat menanamkan
rasa percaya dan kekaguman, sebagaimana rasa percaya dan kekaguman masyarakat
Jakarta kepada Jokowi.
Oleh karena itu benar menurut teori
Maciavelli, bahwa dalam politik diperbolehkan menempuh segala cara. Apalagi
cara hanya sebatas meniru pakaian yang menjadi ikon pemimpin sukses dan jujur.
Malah lebih jauhnya dalam politik praktis, Maciavelli memperbolehkan cara-cara
yang biasa diharamkan dan kotor sekalipun, karena menurutnya jika kekuasaan
telah diperoleh, maka kekuasaan tersebut akan dilegitimasi oleh hukum. Secara
teoritis di negeri kita banyak yang menyatakan menentang teori tersebut.
Namun secara praktis jauh lebih
banyak yang menganut dan melaksanakannya. Meskipun demikian para penganut teori
Maciavelli tersebut sangat menolak mentah-mentah jika dirinya disetarakan
dengan teori Maciavelli. Jokowi merupakan salah satu ikon pemimpin jujur saat
ini. Beliau meraih sukses menduduki kursi nomor satu di DKI Jakarta, bukan
semata mata karena dukungan partai pengusungnya, namun bukti kinerja ketika
menjadi Wali Kota Solo yang dianggap memuaskan banyak pihak, hingga dukungan
politik bagi dirinya bukan merupakan sesuatu yang dianggap sulit.
Jadi pendapat Ketua Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan PDIP, Megawati Soekarno putri di salah satu media masa
beberapa waktu lalu, yang mengatakan bahwa kemenangan Jokowi-Basuki Tjahtja
Purnama (Ahok) sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta, merupakan bukti
bahwa mesin politik PDIP bekerja dengan baik di Jakarta. Menurut hemat penulis
pendapat tersebut adalah tak kurang benar. Mengingat dengan kapabilitas Jokowi
seperti sekarang, bila Jokowi diusung oleh partai manapun, bahkan jika tidak
diusung partai pun (independen), peluangnya untuk menang cukup besar.
Secara filosofi penampilan boleh sama dan
meniru, namun perilaku kinerja belum tentu sama. Kesamaan penampilan belum
tentu dibarengi dengan kesamaan visi dan misi, namun tak lebih baru sebatas
upaya “mengecoh” para calon pemilih. Siapapun sangat mudah untuk meniru busana,
seperti busana artis, penguasaha, Bupati, polisi, TNI dan lain sebagainya.
Namun meniru “isi” terlebih isi hati, pasti sulit. Dunia politik sangat
dinamis. Oleh karena berbagai upaya untuk memperoleh kekuasaan dalam politik
tak akan pernah ada hentinya, termasuk dalam soal busana.
Siapapun yang terpilih menjadi
Gubernur Jawa Barat nanti, kita semua wajib untuk mendukungnya selama Gubernur
(Baca:pemimpin) tak ingkar janji, berpihak kepada rakyat, berintegritas moral
tinggi dan lain sebagainya. Menjadi seorang pemimpin adalah baik dan penting.
Bahkan menurut dogma agama menjadi seorang pemimpin yang baik dan adil adalah
ibadah. Namun demikian rakyat wajib cermat dalam menentukan pilihan. Tidak
sekadar terbuai oleh janji-janji para calon ketika kampanye yang dibarengi
dengan busana kotak-kotanya. Siapapun yang mengenakan busana Jokowi adalah
baik. Namun yang kurang baik adalah jika pengenaan busana tersebut, hanya
semata-mata untuk mengubah pola pikir (mindset))
rakyat dan “pencitraan”, yang seolah-olah calon yang berpakaian ala Jokowi
memiliki kapabilitas seperti Jokowi. Mitos politik busana kotak-kotak Jokowi
kini telah merambah ke dalam perhelatan akbar Pilgub Jawa Barat 2013 mendatang.
Wallohu Alambissawab. Penulis Pemerhati Sosial, Budaya, Ekonomi
dan Politik, Alumni Pasca Sarjana Universitas Garut, Wartawan Garut Express.
0 comments:
Post a Comment