Home » , » Guru Indonesia dalam Pusaran Problematika Pendidikan

Guru Indonesia dalam Pusaran Problematika Pendidikan

Written By Garut Express on Friday, November 30, 2012 | 7:36 AM




Guru Indonesia dalam Pusaran Problematika Pendidikan


Oleh : Herdi Mulyana, S.Pd., M.Pd.

”Seorang Guru menggandeng tangan, membuka pikiran,menyentuh hati, membentuk masa depan. Seorang Guru berpengaruh selamanya. Dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir” (Henry Adam).

Andaikan di dunia ini tidak ada guru, rasanya  tidak akan ada kehidupan. Pengakuan atas begitu besarnya peran guru dalam kehidupan setidaknya tergambar dari ungkapan Henry Adam yang penulis jadikan kutipan di awal tulisan ini. Guru adalah profesi mulia dan terhormat yang tidak semua orang bisa menjalaninya karenanya dibutuhkan sejumlah prasyarat yang ketat dan  kompetensi yang memadai untuk menjadi seorang guru. 

Dalam Undang-Undang  No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, secara jelas disebutkan, guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Di undang-undang tersebut juga, tercantum segala hal yang berkaitan dengan tugas guru sebagai profesional dari mulai kualifikasi,kompetensi hingga maslahat yang harus diperoleh guru.

Harus diakui lahirnya UU Guru dan Dosen merupakan rangkaian panjang dari perjuangan guru Indonesia untuk memperoleh pengakuan dari negara. Melalui undang-undang ini pula profesi guru mulai  kembali “dilirik” masyarakat, padahal kalau kita berkaca ke belakang, profesi guru nyaris tidak diminati karena dianggap tidak menjanjikan dan hanya dijadikan pilihan terakhir ketika tidak ada lagi peluang untuk bekerja dalam bidang lain.
Semua pandangan yang cenderung “menyakitkan” itu bermula dari dipinggirkannya  profesi guru di masa lalu. Kesejahteraan yang minim dan lemahnya daya tawar guru dihadapan pemerintah membuat posisi guru Indonesia semakin sulit dan termarginalisasi. Waktu itu,nyaris tidak ada ruang bagi guru Indonesia untuk bersuara dan mengembangkan dirinya. Semuanya serba terbatas dan diatur serta diawasi secara ketat, padahal hal tersebut jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsif-prinsif profesionalisme.

Kini semua itu tinggal cerita, sejak undang-undang itu disyahkan, profesi guru begitu diminati dan jadi idola . Anak-anak muda berbondong-bondong masuk perguruan tinggi keguruan. Mereka dengan mantap memilih jurusan yang diinginkannya dan memimpikan jadi seorang guru yang bergaji besar. Meski sedikit keliru, pandangan ini tentu tak bisa disalahkan, karena kenyataannya guru Indonesia kini jauh lebih sejahtera dan terlindungi.

Sekarang yang jadi pertanyaan, apakah guru Indonesia sudah sejahtera dan profesional?. Rasanya tidak mudah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, karena masih banyak sekali pekerjaan besar yang harus dihadapi para guru. Di sisi lain problematika pendidikan Indonesia yang sangat kompleks tentu harus jadi perhatian bersama. Apalah artinya guru sejahtera dan profesional kalau kualitas pendidikan Indonesia tak juga meningkat.

Berdasarkan catatan Gerakan Indonesia Berkibar, ada fakta-fakta yang cukup memprihatinkan yang masih dihadapi dunia pendidikan di negeri ini, antara lain, setiap empat menit terdapat anak putus sekolah (data pendidikan tahun 2010, 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah), 54% guru di Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk mengajar, menurut Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69,  dan  34% sekolah di Indonesia kekurangan guru.

Fakta lainnya yang tak kalah memprihatinkan adalah, berdasarkan hasil survei Political and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2001, menyebutkan bahwa sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, dari 12 negara yang disurvei, Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com), Badan Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya, untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak 10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai 949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam menjadi 1.793 anak (www.pikiran- rakyat.com), dan  data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75% dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta, yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung. 

Data-data tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya persoalan pendidikan yang ada di Indonesia, bisa jadi berbagai kelemahan itu merupakan representasi dari masih rendahnya kualitas Indonesia. Walau bagaimanapun, sebagai ujung tombak pendidikan, para guru memiliki peranan besar dalam maju mundurnya pendidikan Indonesia.
Ketika perhatian pemerintah semakin nyata untuk meningkatkan kesejahteraan guru, tentunya hal ini juga harus diimbangi dengan upaya guru untuk terus meningkatkan kompetensi,kualifikasi dan kualitas dirinya sebagai profesional.Tunjangan profesi guru  yang telah digelontorkan begitu besar untuk guru-guru yang telah disertifikasi rasanya akan menjadi sia-sia belaka ketika etos kerja guru tetap tidak berubah padahal di sisi lainnya masih banyak jutaan guru lainnya yang tetap mengabdi meski hidupnya tetap ”kembang kempis” karena hanya mengandalkan honor yang tak seberapa.

Persoalan kesejahteraan adalah isu besar yang tak akan habis diperbincangkan tetapi persoalan profesionalisme adalah sebuah keharusan yang harus ditunjukan para guru Indonesia. Kesejahteraan dalam bentuk apapun biarlah menjadi domain pemerintah dan kita harus percaya pemerintah selalu memikirkan hal tersebut tetapi persoalan profesionalisme itu melekat pada  kreativitas dan kesungguhan individu guru itu sendiri. 

Untuk mewujudkan kedua hal tersebut nampaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan yaitu, guru Indonesia baik secara pribadi maupun melalui organisasi profesi (PGRI,IGI dll) terus memperjuangkan isu-isu pendidikan,guru Indonesia harus aktif mewujudkan profesionalismenya melalui upaya yang nyata dengan kata lain guru Indonesia harus menjadi ”pembelajar sejati”, dan guru Indonesia harus berupaya membantu menyelesaikan beragam persoalan pendidikan dengan bekerja sebaik-baiknya.

Biarlah waktu yang akan menjawab, peran apa yang akan ditunjukan para guru dalam pusaran problematika pendidikan Indonesia. Mendidik adalah proses yang tak mengenal ujung karenanya guru In donesia harus selalu siap mengikuti putaran itu dari waktu ke waktu. Selamat Hari Guru Nasional dan HUT PGRI ke 67. Semoga Guru Indonesia makin sejahtera,professional dan terlindungi.

Penulis
Praktisi Pendidikan dan Media
Tinggal di Bayongbong
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Garut Express - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger