Guru Indonesia dalam Pusaran Problematika
Pendidikan
Oleh : Herdi Mulyana, S.Pd., M.Pd.
”Seorang Guru
menggandeng tangan, membuka pikiran,menyentuh hati, membentuk masa depan.
Seorang Guru berpengaruh selamanya. Dia tidak pernah tahu kapan pengaruhnya berakhir”
(Henry Adam).
Andaikan di
dunia ini tidak ada guru, rasanya tidak
akan ada kehidupan. Pengakuan atas begitu besarnya peran guru dalam kehidupan
setidaknya tergambar dari ungkapan Henry Adam yang penulis jadikan kutipan di
awal tulisan ini. Guru adalah profesi mulia dan terhormat yang tidak semua
orang bisa menjalaninya karenanya dibutuhkan sejumlah prasyarat yang ketat
dan kompetensi yang memadai untuk
menjadi seorang guru.
Dalam
Undang-Undang No 14 tahun 2005 tentang
Guru dan Dosen, secara jelas disebutkan, guru
adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Di undang-undang tersebut juga, tercantum segala hal yang berkaitan dengan
tugas guru sebagai profesional dari mulai kualifikasi,kompetensi hingga
maslahat yang harus diperoleh guru.
Harus diakui lahirnya
UU Guru dan Dosen merupakan rangkaian panjang dari perjuangan guru Indonesia
untuk memperoleh pengakuan dari negara. Melalui undang-undang ini pula profesi
guru mulai kembali “dilirik” masyarakat,
padahal kalau kita berkaca ke belakang, profesi guru nyaris tidak diminati
karena dianggap tidak menjanjikan dan hanya dijadikan pilihan terakhir ketika
tidak ada lagi peluang untuk bekerja dalam bidang lain.
Semua pandangan yang
cenderung “menyakitkan” itu bermula dari dipinggirkannya profesi guru di masa lalu. Kesejahteraan yang
minim dan lemahnya daya tawar guru dihadapan pemerintah membuat posisi guru
Indonesia semakin sulit dan termarginalisasi. Waktu itu,nyaris tidak ada ruang
bagi guru Indonesia untuk bersuara dan mengembangkan dirinya. Semuanya serba
terbatas dan diatur serta diawasi secara ketat, padahal hal tersebut
jelas-jelas merupakan pelanggaran terhadap prinsif-prinsif profesionalisme.
Kini semua itu tinggal
cerita, sejak undang-undang itu disyahkan, profesi guru begitu diminati dan
jadi idola . Anak-anak muda berbondong-bondong masuk perguruan tinggi keguruan.
Mereka dengan mantap memilih jurusan yang diinginkannya dan memimpikan jadi
seorang guru yang bergaji besar. Meski sedikit keliru, pandangan ini tentu tak bisa
disalahkan, karena kenyataannya guru Indonesia kini jauh lebih sejahtera dan
terlindungi.
Sekarang yang jadi
pertanyaan, apakah guru Indonesia sudah sejahtera dan profesional?. Rasanya
tidak mudah untuk menemukan jawaban atas pertanyaan tersebut, karena masih
banyak sekali pekerjaan besar yang harus dihadapi para guru. Di sisi lain
problematika pendidikan Indonesia yang sangat kompleks tentu harus jadi
perhatian bersama. Apalah artinya guru sejahtera dan profesional kalau kualitas
pendidikan Indonesia tak juga meningkat.
Berdasarkan catatan
Gerakan Indonesia Berkibar, ada fakta-fakta yang cukup memprihatinkan yang
masih dihadapi dunia pendidikan di negeri ini, antara lain, setiap empat menit
terdapat anak putus sekolah (data pendidikan tahun 2010, 1,3 juta anak usia
7-15 tahun terancam putus sekolah), 54% guru di
Indonesia tidak memiliki kualifikasi yang cukup untuk mengajar, menurut
Education Development Index (EDI) Indonesia berada pada posisi ke-69, dan
34% sekolah di Indonesia kekurangan guru.
Fakta
lainnya yang tak kalah memprihatinkan adalah, berdasarkan hasil survei Political
and Economic Risk Consultancy (PERC) pada tahun 2001, menyebutkan bahwa
sistem pendidikan di Indonesia terburuk di kawasan Asia, dari 12 negara yang
disurvei, Indonesia menduduki urutan ke-12, setingkat di bawah Vietnam (www.kompas.com), Badan
Narkotika Nasional (BNN) menyebutkan jumlah pengguna narkoba di lingkungan
pelajar SD, SMP, dan SMA pada tahun 2006 mencapai 15.662 anak. Rinciannya,
untuk tingkat SD sebanyak 1.793 anak, SMP sebanyak 3.543 anak, dan SMA sebanyak
10.326 anak. Dari data tersebut, yang paling mencengangkan adalah peningkatan
jumlah pelajar SD pengguna narkoba. Pada tahun 2003, jumlahnya baru mencapai
949 anak, namun tiga tahun kemudian atau tahun 2006, jumlah itu meningkat tajam
menjadi 1.793 anak (www.pikiran- rakyat.com), dan
data dari Balitbang Depdiknas 2003 yang menyebutkan bahwa porsi
biaya pendidikan yang ditanggung orang tua/siswa berkisar antara 63,35%-87,75%
dari biaya pendidikan total. Sedangkan menurut riset Indonesia Corruption
Watch (ICW) pada 2006 di 10 Kabupaten/Kota se-Indonesia ternyata orang
tua/siswa pada level SD masih menanggung beban biaya pendidikan Rp 1,5 Juta,
yang terdiri atas biaya langsung dan tak langsung.
Data-data
tersebut hanya sebagian kecil dari banyaknya persoalan pendidikan yang ada di
Indonesia, bisa jadi berbagai kelemahan itu merupakan representasi dari masih
rendahnya kualitas Indonesia. Walau bagaimanapun, sebagai ujung tombak pendidikan,
para guru memiliki peranan besar dalam maju mundurnya pendidikan Indonesia.
Ketika
perhatian pemerintah semakin nyata untuk meningkatkan kesejahteraan guru,
tentunya hal ini juga harus diimbangi dengan upaya guru untuk terus
meningkatkan kompetensi,kualifikasi dan kualitas dirinya sebagai
profesional.Tunjangan profesi guru yang
telah digelontorkan begitu besar untuk guru-guru yang telah disertifikasi
rasanya akan menjadi sia-sia belaka ketika etos kerja guru tetap tidak berubah
padahal di sisi lainnya masih banyak jutaan guru lainnya yang tetap mengabdi
meski hidupnya tetap ”kembang kempis” karena hanya mengandalkan honor yang tak
seberapa.
Persoalan
kesejahteraan adalah isu besar yang tak akan habis diperbincangkan tetapi
persoalan profesionalisme adalah sebuah keharusan yang harus ditunjukan para
guru Indonesia. Kesejahteraan dalam bentuk apapun biarlah menjadi domain
pemerintah dan kita harus percaya pemerintah selalu memikirkan hal tersebut
tetapi persoalan profesionalisme itu melekat pada kreativitas dan kesungguhan individu guru itu
sendiri.
Untuk
mewujudkan kedua hal tersebut nampaknya ada beberapa hal yang harus dilakukan
yaitu, guru Indonesia baik secara pribadi maupun melalui organisasi profesi
(PGRI,IGI dll) terus memperjuangkan isu-isu pendidikan,guru Indonesia harus
aktif mewujudkan profesionalismenya melalui upaya yang nyata dengan kata lain
guru Indonesia harus menjadi ”pembelajar sejati”, dan guru Indonesia harus
berupaya membantu menyelesaikan beragam persoalan pendidikan dengan bekerja
sebaik-baiknya.
Biarlah waktu yang akan menjawab, peran apa
yang akan ditunjukan para guru dalam pusaran problematika pendidikan Indonesia.
Mendidik adalah proses yang tak mengenal ujung karenanya guru In donesia harus
selalu siap mengikuti putaran itu dari waktu ke waktu. Selamat Hari Guru
Nasional dan HUT PGRI ke 67. Semoga Guru Indonesia makin sejahtera,professional
dan terlindungi.
Penulis
Praktisi Pendidikan dan Media
Tinggal di Bayongbong
0 comments:
Post a Comment