Home » , » Solusi Etika dan Estetika Bagi Garut

Solusi Etika dan Estetika Bagi Garut

Written By Garut Express on Monday, December 17, 2012 | 7:34 AM

Solusi Etika dan Estetika Bagi Garut

Oleh Usep Romli HM

Garut Bangkit Garut Berprestasi, adalah slogan ideal. Sungguh indah jika dapat diwujudkan dalam kenyataan. Namun seiring dengan munculnya berbagai kasus yang betolak-belakang dengan norma etika dan estetika, terpaksa muncul rumor pahit. Humor mengandung kepedihan dan penyesalan. Mengapa Garut tidak bangkit ? Malah bangkrut. Mengapa Garut tidak berpretasi ? Malah berfrustasi.

Garut Bangkrut Garut Berfrustasi, menjadi antiklimaks yang tak dapat ditolak. Sebuah akibat dari berbagai sebab yang amat kompleks, ruwet dan melibatkan banyak pihak di berbagai lapisan dan tingkatan.

Kondisi menyesakkan itu, termasuk Sunatullah. Ketentuan dari Allah SWT yang tak dapat ditolak oleh siapapun dengan cara bagaimanapun. Merupakan rangkaian dari rangkaian peristiwa sama sebangun yang telah muncul sejak masa lampau. Karena telah tertulis di dalam KitabNya :

“Telah dicontohkan tentang sebuah negeri, yang penduduknya aman tenteram sentosa bahagia sejahtera, rezeki berdatangan dari segala tempat. Namun mereka kufur atas nikmat-nikmat Allah. Maka Allah menimpakan kepada mereka, kelaparan dan ketakutan, sesuai dengan kadar perbuatan kufur nikmatnya itu” (Q.s.an Nahl :112).

Fa kafarat bi anumillah. Menyia-nyiakan nikmat Allah. Itulah kata kunci kehancuran suatu bangsa dan negara. Suatu kota dan desa. Garut telah terkena wabah tersebut. Dan terpaksa harus menjalani Sunatullah.
Namun, selama kiamat belum tiba, peluang memperbaiki kondisi, baik personal maupun komunal, masih terbuka. Asal kufur nikmat segera ditinggalkan.

Diganti dengan syukur nikmat, seandainya penduduk Garut mulai dari kalangan alit hingga tingkat elit, bersedia. Sumberdaya manusia, beserta sumberdaya alam Garut yang unggul, akan dimanfaatkan maksimal dalam jalur kebaikan dan kebajikan. Sekaligus mengikis-habis aneka macam perbuatan laknat, yang tergolong Ma-Lima – maling (korupsi), madon (pelacuran), madat (mabuk-mabukan), mateni (kekerasan, pembunuhan), main (perjudian) – yang dampak akibatnya merusak sumberdaya manusia dan sumberdaya alam tanpa aturan dan ukuran.

Perwujudan syukur nikmat, dalam bentuk kebaikan dan kebajikan vertikal dan horisontal, Insya Allah akan membuka pintu barakah dari langit dan bumi, seperti sedia kala.

Untuk menuju ke arah itu, tidak ada salahnya jika masyarakat Garut saat, berguru kepada para leluhur Garut tempo dulu. Para leluhur yang telah merintis jalan ke arah “Garut Pangirutan”, “Garut Nanjung Pinunjul”, “Garut Linuhung Unggul”. Karena secara genetika, memang Garut memiliki keistimewaan tersendiri dalam percaturan sosial, politik, budaya, ekonomi, pertahanan-keamanan, di tingkat nasional dan internasional.
Sebagai tonggak referensi, dari seribu entri dalam “Ensiklopedi Sunda” (2000), terecatat ada 20 (dua puluh) item berasal dari Garut, baik sosok figur, maupun hasil karya seni budaya, kriya dan kuliner.

Dalam buku “Apa Siapa Orang Sunda” (2002), tercatat 11 (sebelas) orang asal Garut (Asgar), mewakili sastra, seni rupa, karawitan, agama, ilmuwan, militer, dan politik. Dari 100 (seratus) penyair yang puisi-puisinya terkumpul dalam buku “Sajak Sunda” (2007), ada 15 (lima belas) penyair asal Garut tercantum di sana.

Ini menunjukkan salah satu potensi besar Garut. Potensi yang akan terus tumbuh berkembang, terwariskan dari generasi ke generasi, jika Garut benar-benar bangkit dan berprestasi. Jika benar-benar Garut terbebas dari polusi berbagai jenis korupsi yang sangat tidak etis, dan dari berbagai jenis tindak-tanduk penyelewengan yang sama sekali tidak estetis.

Sekedar untuk “berguru” kepada figur-figur “pahlawan” Garut generasi terdahulu, marilah kita simak peran dan perjuangan Kiyai Haji Hasan Mustapa dan Raden Haji Muhammad Musa.

Raden Haji Muhammad Musa (Limbangan, Garut, 1822-1886), seorang“Penghulu Besar” (Hoofdpanghoeloe), Kabupaten Garut. Setingkat Kepala Kantor Departemen Agama Kabupaten sekarang. Tapi nama dan jasanya melebihi jabatannya itu. Bahkan lebih termashur dan lebih lestari daripada “atasan” nya, para bupati sezaman.

Salah satu keistimewaannya yang membuat ia terkenal, adalah persahabatanny dengan Karel Federik Holle (1829-1896), penguasa (administratur) kebun dan pabrik teh “Waspada” di lereng Gn. Cikuray. Padahal RH Moh.Musa, tokoh Muslim panutan, dan seorang “pribumi” jajahan. Sedangkan Holle, Nasrani, orang Belanda penjajah.

Ternyata RH Musa mampu memanfaatkan hubungan pribadi dengan KF Holle, untuk kepentingan khalayak. Bukan saja di Garut, melainkan seluruh Priangan dan Tatar Sunda. Mulai dari menata (reformasi) kepemilikan tanah di Priangan (Landreform Reorganisatie) tahun 1871, hingga memetik ilmu pengetahuan mengenai pertanian, pemerintahan dan pendidikan yanf sangat berguna untuk memajukan kaum pribumi.
Ini merupakan contoh positif bagi setiap generasi.

Bahwa seorang pemimpin harus aktif kreatip, berwawasan luas, dan berani mengambil inisiatif. Tidak “bauan”. Tidak “ heureut deuleu, “pugag lengkah”, “cupet ingetan” “kurung batok” alias “kuper” dan rendah diri. Sebagai seorang yang “jembar manah”, Penghulu Besar RH Muh. Musa tidak hanya terpaku pada urusan “munakahah” belaka, yang mengurus nikah, talak dan ruju (NTR). Atau cuma mengurus zakat, infak, sadaqah saja. Melainkan terbuka menerima perubahan dan berani mencari alternatif-alternatif lain di luar bidang pekerjaannya sehari-hari. Asal membawa kemaslahatan. Terutama di bidang “muammalah” (ibadah sosial) yang berkaitan dengan urusan duniawi.

Seraya teguh kukuh memegang akidah iman Islam, RH Muh.Musa sudah mampu menunjukkan praktek “hablum minnas” (hubungan dengan sesama manusa) yang sipatnya pluralistik. Lintas agama. Dari KF Holle, RH Muh. Musa mendapat berbagai serta contoh-contoh ilmu terapan dasar, berdasarkan perkembangan pengetahuan moderen. Termasuk cara menyusun ejaan dan menggunakan mesin cetak tangan (handpress). Sehingga buku-buku yang ia tulis, baik fiksi (Wawacan), maupun non-fiksi (uraian tentang pertanian, peternakan, kesehatan) dapat tersebar luas dalam bentuk bagus.

Memang KF Holle pun menyerap keuntungan dari kemitraannya dengan RH Muh.Musa. Kelinuhungan ilmu dan wibawa RH Muh.Musa di kalangan para ulama dan umat Islam, menjadi jembatan bagi KH Holle untuk memperlancar pelaksanaan “politik etis” (etische politiek) pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebab, selain pengusaha pertanian dan perkebunan, Holle juga menjadi penasihat pemarintah kolonial untuk urusan pribumi.

Tegasna antara Musa dan Holle, terbentang hubungan “ta-awanu alal birri wat takwa”. Kerjasama dalam kebajikan dan takwa (Q.s.al Maidah : 2). “Simbiose mutualistis”. Saling menguntungkan dalam arti sangat luas. Musa tidak memanfaatkan hubungan dengan Holle untuk mencari keuntungan pribadi lewat komisi, suap sogok, kolusi, dsb. Sebagaimana sering terjadi zaman sekarang kongkalikong antara penguasa dan pengusaha, birokrat dan konglomerat.

Mungkin karena RH Musa ulama tulen, merangkap pujangga Sunda terkemuka, yang mempertahankan rasa keindahan (estetika) dan norma ahlak mulia (etika) dalam tindak-tanduk kesehariannya. Hal ini tergambar dari karya-karya yang ditulisnya, menjadi warisan klasik sastra dan pustaka Sunda hingga sekarang. Seperti “Wawacan Panji Wulung” (1871), “Wawacan Ali Muhtar” (1864), “Dongeng Pieunteungeun” (1867), “Dongeng-Dongeng Nu Araneh” (1884). Menurut “Ensiklopedi Sunda” susunan Ajip Rosidi (2001), banyak karya RH Muh.Musa mengalami cetakulang berkali-kali karena menjadi bacaan wajib di sekolah-sekolah.

Seorang sarjana bahasa dan sastra Sunda asal Jepang, Mikihiro Moriyama, dalam disertasi doktor yang diuji di Universutas Leiden, mengupas peran Muhammad Musa sebagai pembaharu di bidang sosial, ekonomi, pendidikan dan kebudayaan. Jasa-jasa Muhammad Musa yang disorot Mikihiro, adalah penyebaran buku-buku bacaan yang diterbitkan menggunakan percetakan dan huruf Latin. Tapi tidak mengganggu kebiasaan mayoritas warga masyarakat yang terbiasa membaca dan menulis huruf Arab.
Peran Muhammad Musa dalam memajukan masyarakat, benar-benar lintas professi. Ia seorang ulama, pejabat institusi keagamaan, namun aktip dan kreatip di bidang-bidang lain di luar tugas formal kesehariannya.

Sedangkan KH Hasan Mustapa (lahir di Cikajang, Garut, 1652, wafat di Bandung, 1930), setelah nyantri di beberapa pesantren Garut (antara lain Kiarakoneng, Cibunut, Garut Kota), mengaji ke pesantren-pesantren lain di Sumedang, Surabaya dan Bangkalan (Madura). Th.1880 berangkat ke Mekkah. Belajar kepada para ulama di Masjidil Haram. Salah seorang gurunya, adalah Syekh Nawawi Banten. Sempat menjadi guru di Masjidil Haram (1887), pulang ke Garut atas undangan RH Muhammad Musa, untuk menengahi pertikaian paham di antara beberapa ulama setempat. Ia berhasil menengahi pertikaian paham itu, seraya mendirikan pesantren di kawasan Sindangbarang, Garut. Th.1893 diangkat menjadi Panghulu Besar Aceh, berkat persahabatannya dengan Dr.Snouck Hugronye, penasihat keagamaan pemerintah kolonial. Th.1895, menjadi Panghulu Besar Bandung hingga pensiun.

Seperti RH Muhammad Musa, prestasi Hasan Mustapa di bidang birokrasi keagamaan, diimbangi dengan kreativitas di bidang sastra-budaya. Banyak karya-karyanya mengenai berbagai hal, baik dalam bahasa Sunda, Jawa, Melayu, maupun Arab. Mayoritas karyanya dalam bahasa Sunda, ditulis dalam bentuk puisi “dangding”. Kedalaman isi, kekhasan tema dan keluasan bahasan, membuat karya-karya Hasan Mustapa mengandung nilai filsafat. Ia seorang bujangga sekaligus filosof, yang karya-karyanya belum tertandingi oleh siapapun.

Namun di balik kejugalaan ide-idenya yang tertuang dalam tulisan, KH Hasan Mustapa sehari-hari adalah seorang yang praktis, pragmatis dan realistis. Ia menghindari wacana berbelit-belit. Setiap permasalahan yang dihadapi, dipecahkan secara santai dan ringan. Sebuah anekdot tentang seorang penduduk desa yang datang menghadap KH Hasan Mustapa. Menanyakan hukum memakan ketam (keuyeup). Jawaban Hasan Mustapa, cukup menggambarkan penguasaan paedagogis ulama besar itu.

“Kiyai, dupi keuyeup halal atawa haram lamun diteda ?”tanya penduduk desa itu.
“Ari di lembur maneh aya keneh lauk emas ?”Hasan Mustapa balik bertanya.
“Seueur,”jawab penduduk desa.
“Mujaer ? Belut ?”
“Seueur”
“Tah dahar we heula lauk emas, mujaer jeung belut. Ke ari eta geus beak, karek mikiran halal-haramna ngadahar keuyeup.”

Seandainya Hasan Mustapa mengumbar wacana, membahas hukum halal-haram yang pelik-pelik, tentu akan menyulitkan bagi orang setarap penduduk desa.

Bahkan mungkin akan mengundang permasalahan baru yang bersifat ikhtilaf (pertentangan). Sehingga akhirnya akan menjadi perkataan yang tak dapat dilaksanakan. Cuma omong kosong dan debat kusir. Sebagai ulama besar, KH Hasan Mustapa mengetahui benar terhadap ancaman murka besar Allah kepada orang-orang yang hanya mampu berkata, tak mampu mengerjakan apa yang dikatakannya. Kabura maktan an takunu ma la taf’alun (Q.s.ash Shaff : 2-3).

Figur-figur dengan karakter semacam RH Muhammad Musa dan KH Hasan Mustapa, yang dibutuhkan Garut masa depan. Pengendali Garut yang akan datang, yang sudah siap siaga membersihkan Garut dari segala macam “rereged” dan “panyakit berewit” mau tidak mau harus mengikuti jejak Muhammad Musa dan Hasan Mustapa. Berbekalkan niat ikhlas, berpedoman kepada langkah-langkah yang mantap dan benar, untuk mencapai tujuan ridla Allah SWT, Insya Allah, Garut akan terselamatkan. Garut akan kembali meraih pamor dan wibawa sebagai kota terkemuka di Nusantara. Kota yang menjunjung tinggi etika moral. Kota yang memiliki estetika budaya.

Bukan kota yang dianggap pantas masuk Museum Rekor Indonesia (MURI), hanya karena memiliki prestasi dan reputasi di bidang korupsi san kawin siri empat hari. ***
Share this article :

0 comments:

Post a Comment

 
Support : Creating Website | Johny Template | Mas Template
Copyright © 2011. Garut Express - All Rights Reserved
Template Created by Creating Website Published by Mas Template
Proudly powered by Blogger