![]() |
Oleh H.Usep Romli HM Ketua MUI Kec.Cibiuk 1998-2008 |
Menikah dengan Baik, Bercerai dengan Baik
Nikah mengandung banyak hikmah. Antara lain, penyaluran naluri seksual secara benar dan sah menurut ajaran agama (Islam), satu-satunya cara untuk mendapatkan anak serta mengembangkan keturunan, untuk memenuhi naluri keibuan dan kebapakan dalam melimpahkan kasih sayang, menumbuhkan rasa tanggung jawab seseorang yang telah dewasa, sehingga memberi dampak positif terhadap aktivitas kehidupan berkeluarga, berbagi tanggung jawab sebagai suami-istri, mempererat hubungan antara satu keluarga dengan keluarga lain (Ensiklopedi Islam, 1993, jilid 4,hal.32-41).
Dengan demikian, nikah merupakan perbuatan serius. Mengandung nilai ibadah “mahdloh” (individual personal kepada Alloh SWT), sekaligus ibadah “ghoir mahldoh” (komunal-sosial dengan sesama manusia).
Di dalam Al Quran, terdapat 23 (dua puluh tiga) ayat tentang nikah. Termasuk perintah wajib menikah (Q.S. Rum : 21). Juga banyak hadits Nabi Muhammad SAW, yang menyatakan nikah sangat dianjurkan (sunnah muakkad). Orang yang menikah, setara dengan orang berjihad di jalan Alloh (hadits sahih riwayat Imam Bukhori).
Berdasarkan hal-hal di atas, maka nikah termasuk persoalan serius. Sehingga, selain diatur oleh hukum syar’i, juga diatur oleh etika dan norma yang saling berkaitan dengan peran dan fungsi pernikahan sebagai sistem agama (munakahah) sekaligus hukum sosial (muamalah). Tidak boleh dijadikan ajang main-main, iseng atau sekedar membuat alasan “lebih baik daripada zina”.
Bahkan, untuk mendukung pelaksanaan hukum nikah yang terpuji berikut segala lanjurannya yang terpuji pula, sebelum akad nikah, perlu dilakukan khitbah (peminangan). Khitbah ini merupakan ketentuan syari’at Islam, mengandung tujuan, agar pernikahan dipersiapkan benar-benar dalam rangka pembangunan kehidupan rumah tangga yang sakinah, mawaddah, dan rohmah. Penuh keberkahan dan kebahagiaan lahir batin dunia akhirat.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah, dalam “Majmu’atu Fatawa’ul Kabir”, mengacu kepada ayat 19 Q.S- An Nisa, menyatakan , faktor “ma’ruf” (baik) sebagai asas pokok pernikahan . Syarat sah dan rukun nikah yang telah terpenuhi secara syar’i, seperti ijab, qobul, wali, saksi, dll., harus mengandung faktor “ma’ruf”. Jika tak ada faktor “ma’ruf”, walaupun nikahnya sah, tetap mengandung cacat hukum. Dapat dikatergorikan “nikah paksa” yang melenceng dari hakikat makna dan tujuan nikah. Atau sama dengan “nikah mut’ah” (nikah dalam waktu tertentu dengan alasan tertentu pula). Padahal Nabi Muhammad SAW, telah mengharamkan “nikah mut’ah” sejak peristiwa perang Khaibar (8 H) hingga hari Kiamat (hadits riwayat Ibnu Majah) yang berlaku di kalangan jumhur ulama.
Jika kemudian, pernikahan menemukan ketidaksesuaian yang tak terselesaikan, bagi suami atau istri yang terikat pernikahan “ma’ruf” tadi, diperbolehkan melepaskan ikatan pernikahan mereka. Tentu harus secara “ma’ruf” pula. Talak disyari’atkan dalam Islam,sebagaimana tercantum dalam Al Quran, S.Al Baqoroh : 230-231 dan 236-237, S.At Talaq : 1 dan S.Al Ahzab : 49.
Tatacara menjatuhkan talak diatur oleh syari’at Islam. Para ulama sepakat (ijma), walaupun pada dasarnya boleh (ibahah), talak tetap tercela (khatr), berdasarkan hadits Rasulullah SAW “Pekerjaan halal yang paling dibenci Alloh, adalah talak” (Abghodu halalu illallohit tholaq). Sehingga hukum talak dapat menjadi wajib, sunah, boleh, makruh dan haram. Tergantung dari segi kondisi talak itu terjadi (Ensiklopedi Islam, 1999, jilid 5, hal. 53-60).
Sebagaimana nikah, talak juga tetap harus berada dalam koridor “ma’ruf” . Baik. Tidak bersumber dari hawa nafsu amarah sesaat.Serta tidak menjadikan pemutusan hubungan silaturahmi setelahnya kelak. Apalagi jika terdapat ikatan anak hasil pernikahan.
Bahkan, orang yang saling mengasihi karena Alloh, dan bercerai karena Alloh pula (rojulani tahobba fillahi ijtama’a alaihi wa tafarroqo alaihi), akan termasuk satu dari tujuh jenis manusia yang memperoleh perlindungan Alloh SWT di Yaumil Akhir. Tatkala seluruh umat manusia dibangkitkan dan digiring ke Alam Mahsyar, semua dalam keadaan terbakar sinar matahari yang hanya sejengkal dari ubun-ubun. Maka orang yang saling mengasihi karena Alloh dan berpisah karena Alloh, berada di bawah naungan keteduhan di saat tiada peneduh selain peneduh dari Alloh SWT (yudlilluhumulloha fi dlillhi yauma illa dlilluhu). Mereka bersama antara lain, pemimpin yang adil (hadits sahih riwayat Imam Bukhari).
Kesimpulan, nikah bagi setiap Muslim beriman, adalah sebuah perbuatan sakral yang bernilai ritual sekaligus sosial. Tidak boleh dijadikan permainan karena merasa cukup syarat sah dan rukunnya, tanpa memperhatikan faktor “ma’ruf” . Sebab, menurut jumhur ulama salafush sholihin, hukum Islam memiliki dua bagian yang satu sama lain tidak terpisahkan. Yaitu memenuhi ketentuan beban kewajiban (taklifi) kepada Alloh SWT, serta memenuhi ketentuan ijtima’i (sosial kemasyarakatan).****
(Halaqoh Budaya Pst. Raksa Sarakan,Cibiuk, Garut, 10 Desember 2012)
Suatu tauladan pemahaman yang dipenuhi syarat hikmah, bagi seluruh lapisan insan, sehingga dapat terhindar dari malapetaka timbulnya fitnah dan perguncingan saling menyudutkan antar pihak yang terkait pertikaian pemaparan diatas
ReplyDelete